CHAPTER 80

75 3 0
                                    

Ruangan itu seketika berubah menjadi hening. Semua hanya diam dan menatap cowok yang telah berbaring lemah itu. Haya terdengar suara detikan jarum jam dan alat pengontrol detak jantung. Hanya benda itu yang memecahkan keheningan di dalam ruangan itu.

Ruang ber dekorasi dengan perpaduan warna putih. Di sana hanya bisa merasakan bau obat-obatan.

"Kenapa ini semua bisa terjadi kepada kamu nak? Kenapa penyakit yang kamu derita nggak di kasih ke bunda aja? Kenapa ini terjadi kepada kamu nak? " Sudah sekitar setengah jam Dinda mengeluarkan air mata . Membentuk sungai kecil yang sangat deras.

"Bunda jangan nangis! Harus kuat. Katanya bunda mau sembunyiin air mata bunda? " Anak keduanya itu ikut menenangkan Tania. Jangan sampai dia berpikir terlalu berat. Apa lagi sekarang Dinda lagi hamil anak ketiganya itu.

"Bunda nggak tega lihat anak bunda yang periang, nggak ada sopan santun nya itu terbaring seperti ini. Sekarang anak bunda yang bunda kenal bukan anak bunda yang dulu kenal. Sekarang dia juga masih mengejamkan kedua matanya" Tangisnya semakin memecah.

"Kalau gitu saya pamit pulang dulu ya! " Ketiga pembantu dan juga satpam itu berpamitan kerena, masih ada kerjaan yang mereka kerjakan. Ketika mereka melangkahkan kaki keluar di ikuti langkah kaki sepasang suami istri itu. Dimana mereka adalah orang tua dari Banu.

"Bunda ayah anter pulang ya? Bunda butuh istirahat. Besok kita ke sini lagi" Ajak Rijal yang di balas dengan anggukan kepala.

Setelah lima belas menit kepergian mereka semua kini tinggal ada empat remaja yang ada di sana. Ruangan itu pun  masih berkondisi sama hanya hening.

"Gue keluar sebentar ya" Semua mengangguk singkat.

"Gue mau beli minum dulu" Tinggal Banu dan Rani yang ada di sana.

"Lo nggak laper? " Cewek itu menggeleng.

"Apa Axel nggak bisa sembuh? " Tanya nya dengan tiba-tiba.

"Sembuh kok. Lo harus yakin kalau Axel bisa sembuh" Cowok itu mengelus pelan ujung rambutnya.

"Tapi, gue takut"

"Kenapa? " Sebelum menjawab pertanyaan itu cewek itu memiringkan kepalanya dan menuandarkan nya ke pundak cowok itu.

"Gue takut kalau dia nggak sembuh"

"Lo nggak boleh ngomong sepeti itu "

"Tapi _"

"Tapi, apa? "

"Ahhhh tau deh pusing kepala gue" Cewek itu meminat keningnya.

Lima belas menit kemudian. Sasana menjadi suram ketika cowok itu drop. Kami tidak tau apa yang terjadi pada temannya itu. Beberapa dokter dan suster sudah masuk ke dalam sana. Tapi, tak di sangka kalau Pria juga ikut menangani cowok itu.

Beberapa menit berlalu. Dokter pun belum keluar dari ruangan itu. Perasaan semakin cemas dan tak karu-karuan. Semua yang ada di rumah datang ke sini dengan perasaan yang tidak tenang. Roni dan Dinda , bahkan mang Ujang pun belum sampai di rumah. Mereka memutar jalan setelah mendapat kabar dari anak perempuan nya itu.

Tak menunggu waktu lama mereka pun datang. Di susul dengan kehadiran kakek dan nenek itu.

Pintu ruangan itu terbuka. Semua langsung beranjak dari tempat duduk dan mereka pun menghampiri beberapa perawat itu. Tapi, di antara mereka pria tidak ada. Dia masih ada di dalam.

"Pasien ingin menemui kalian semua" Pertanda apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

Mereka pun masuk dengan seluruh tubuh yang bergemetar. Di sana sudah ada Pria dan Axel berwajah pucat yang sudah membuka matanya itu.

PSIKOPAT[Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang