Dia Olivia, gadis dengan segala kerapuhannya. Dibenci ibunya sendiri, dibenci kerabat-kerabat orang tuanya. Terlebih dengan jantungnya yang sakit, membuat penderitaannya sempurna.
Hanya mampu bersandar pada bahu Septian untuk mencurahkan kesedihann...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Pada akhirnya, semua orang akan pergi."
-oOo-
Jangan terlalu menganggap seseorang istimewa dan berharap dia akan selalu ada untukmu selamanya. Karena, akan ada saatnya semua orang akan pergi darimu. Entah karena umur atau alasan lainnya.
Langit pagi seolah bersedih hari itu. Langit menurunkan semua airnya dari semalam, membuat tanah-tanah di bumi yang awalnya kering mulai basah, membuat udara yang dingin semakin menusuk masuk ke dalam pori-pori.
"Kamu nungguin siapa?"
Suara yang begitu lembut menyapa, membuat Oliv tersadar dari lamunannya. Gadis yang berdiri di teras rumah itu langsung mengerjap, menoleh, dan menatap sosok wanita yang berdiri di belakangnya, entah sejak kapan.
"Engh ...." Oliv merotasikan bola matanya ke kiri dan ke kanan, menghindari kontak mata dengan wanita tersebut. "Lagi nungguin Revan jemput."
Seketika itu, raut wajah Clara yang awalnya tersenyum manis, kini berubah murung dan sayu. Wanita dewasa itu menurunkan pandangannya, menatap lantai di bawah. Dia menghembuskan napasnya dengan sangat pasrah dan lelah.
"Biar nanti dianter supir aja, ya? Soalnya ini ujannya juga masih deres." Clara mengusak kepala gadis di depannya.
Dan sepertinya, Oliv hanya ingin kekasihnya. Gadis pendek itu menggeleng sembari mengulum bibir. Bagaimanapun, perasaannya kini sungguh gelisah dan bimbang, takut sesuatu hal terjadi pada kekasihnya itu.
Hingga beberapa saat kemudian, sebuah mobil Limousine berhenti di depan gerbang rumah maha mewah tersebut. Seketika itu pula, Oliv terpukau dengan keindahan mobil mewah berwarna putih dan panjang tersebut. Akan tetapi, sosok yang keluar dari mobil tersebut jauh lebih membuat Oliv terpukau dan juga membuatnya menjatuhkan rahang. Di sana, di depan gerbang yang sedang dibuka oleh penjaga rumah, sosok laki-laki memakai celana bahan warna putih dan jas putih turun dari mobil sembari dipayungi oleh seseorang yang juga berpakaian formal.
"La ... ngit?" Oliv mengerutkan keningnya ketika sosok laki-laki yang berpakaian layaknya pangeran itu menghampiri, dan kini berdiri di depannya.
Tanpa menghiraukan gadis pendek yang masih kebingungan, Langit menyalami tangan tantenya. Dia tersenyum formal, berbeda dengan senyuman Langit yang khas dan begitu lepas.