9. Broken S

921 68 8
                                    

Hallo semua. Selamat hari senin. Ahaha. Haiyukk.
Untuk chapter kali ini, jangan terlalu nanyain di mana Oliv sama Bang Rev, ya. Soalnya, part 9 itu khusus buat Septian.
Meski bukan tokoh utama di cerita, Septian juga penting loh. Soalnya, dia yang paling tersakiti di sini. Huhuhu.

Jadi, part kali ini nyeritain keluarga Septian. Langsung aja lah di baca.

Happy Reading.

"Kita sering kali mengeluh, meyakini bahwa diri kita adalah yang paling tersakiti di dunia ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita sering kali mengeluh, meyakini bahwa diri kita adalah yang paling tersakiti di dunia ini. Kita lupa, selain ada langit di atas langit, masih ada bumi di bawah bumi." -Septian Prawira.

-oOo-

Saat seseorang bisa dengan mudahnya mengetahui bahwa kamu sedang bersedih, padahal kamu sudah menutupinya sebagus mungkin, itu artinya ada dua, dia memang bisa menebaknya dengan mudah, atau ... dia pernah merasakan berada di posisimu.

Dengan langkahnya yang gontai, Septian melangkah, memasuki rumahnya yang terlihat cukup besar dan mewah. Dia mendorong pintu rumahnya, kemudian masuk tanpa melepas sepatunya.

Hening, sunyi, seperti inilah kondisi rumah ini. Hanya terlihat bagus dari luar, tetapi tidak dengan dalamnya. Bukan, bukan dalam artian rumah ini berantakan, tapi tentang keadaannya yang hanya ditinggali oleh satu orang, Septian.

Septian membanting tubuhnya ke atas sofa, melempas jaket dan sepatunya, kemudian melempar kedua barang itu ke sembarang arah. Sosok Septian yang terlihat selalu tersenyum, kini berbeda dengan Septian yang sudah memasuki rumahnya.

"Aku mempunyai rumah, tetapi aku tak mempunyai tempat untuk pulang. Tanpa keluarga ... rumah bukanlah tempat berpulang," ucap Septian, seolah sedang membaca sebuah sajak.

Menghela napasnya, kemudian Septian memejamkan matanya beberapa saat. Saat membuka mata, dia berharap bahwa ibunya datang dan membawakannya makanan, tetapi itu semua hanyalah khayalannya.

Septian mendudukkan tubuhnya, menatap foto ibunya yang berdiri di depan meja, meja kaca yang ada di depannya, foto yang disimpan di balik figura. Dia menatap foto itu lamat-lamat, hingga tak terasa sekarang tangannya sedang meremat sofa.

"Banyak nama untukmu, ibu, mama, bunda. Kasih sayangmu selalu sama, menyayangi anaknya dengan sepenuh jiwa. Rela menukar nyawa, asal dapat melihat anakmu bahagia. Ibu, bagaimanakah ku membalas jasamu? Dayaku tak mampu untuk itu. Engkaulah malaikat tak bersayapku." Septian mengusap bingkai foto itu dengan ibu jarinya, sesaat setelah mengucapkan puisinya.

Septian yang memakai seragam putih biru itu berlari memasuki rumahnya. Dia berlari dengan gembira, membawa sebuah rapor untuk ditunjukkan kepada orang tuanya, untuk ditunjukkan bahwa tahun ini dia lagi-lagi mendapat nilai terbaik.

I'am BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang