Dia Olivia, gadis dengan segala kerapuhannya. Dibenci ibunya sendiri, dibenci kerabat-kerabat orang tuanya. Terlebih dengan jantungnya yang sakit, membuat penderitaannya sempurna.
Hanya mampu bersandar pada bahu Septian untuk mencurahkan kesedihann...
Hallo gaes! Welcome back. Akwkwk. Gimana soal chapter yang kemaren? Gaje, ya? Maafkan, euy. Ini pertama kalinya nulis sad soalnya. Huhuhu.
Jangan lupa buat vote and comment, ok? Apalagi spam comment. Ayo komen yang banyak, biar nanti masuk sorga. Aminin.
Happy Reading
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Pura-pura tegar. Biar apa? Biar lo dianggap kuat? Mau sampe kapan lo brengsek sama diri lo sendiri?" -Raven Revandra Sagara.
-oOo-
Terkadang tersenyum menutupi luka, jauh lebih baik, daripada harus menjelaskan apa yang sebenarnya kita rasa.
Wanita berumur sekitar 35 tahunan itu menangis di kamarnya, di pelukan suaminya. Menangis dengan sebisa mungkin untuk meredam suaranya agar tak terdengar. Membasahi baju suaminya dengan air mata yang mengalir dengan deras.
Hatinya sakit, hatinya hancur, hatinya seperti ditusuk-tusuk beribu jarum setiap melihat gadis cantik yang tadi bersama anaknya itu. Seorang remaja yang seumuran dengan anaknya, yang membuat kenangan serta mimpi buruk dalam dirinya.
"Kenapa? Kenapa hatiku sakit banget tiap liat anak itu?" Lisa memukul-mukul pelan dada suaminya.
Julian hanya diam, dia mempererat pelukannya, sedikit mengusap punggung istrinya. Pria yang hampir berkepala empat itu kebingungan, tidak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan istrinya. Dia tidak ingin salah bicara dan membuat istrinya semakin sedih.
"Anak itu ... dia yang udah ngebunuh," ucap Lisa, lebih seperti menasehati dirinya sendiri.
"Gak ada yang salah, Sa," ucap Julian menghela napas. "Semuanya terjadi, karena emang udah seharusnya terjadi kayak gitu."
"Sekarang dia di mana?" Lisa melepaskan pelukan suaminya, kemudian sedikit memundurkan wajahnya dan menatap wajah suaminya dengan jelas, sangat jelas.
"Dia udah dibawa sama Revan, ke kamar," jawab Julian.
"Apa?! Ngapain mereka ke kamar?!" Mata Lisa terbelalak kaget mendengarnya.
"Ck. Mereka gak bakal ngapa-ngapain. Anak gue mah gak bakal macem-macem." Julian menepuk-nepuk dadanya dengan bangga sembari melengkungkan bibirnya ke bawah.
"Anak gue. Gue maknya."
"Gue bapaknya."
"Gue yang ngurus dia."
"Dia makan dari uang siapa? Uang gue."
"Itungan lu jadi bapak." Lisa mendorong tubuh suaminya itu. "Gue yang ngedidik dia."