Bonus Chapter: Langit dan Bumi.

1.8K 165 56
                                    

Adakah yang masih menyimpan work ini di library??

---

"MA, ABANG CHAT-AN SAMA CEWEK SAMBIL SENYUM-SENYUM."

Gita yang tengah sibuk berkutat di dapur segera mematikan kompor yang ada dihadapannya. Wanita itu menoleh, lebih tepatnya melihat kearah tangga. Ia berkacak pinggang saat melihat kedua putra kembarnya berlomba-lomba turun dari lantai atas, hendak menghampiri dirinya.

"Abang, adek. Jangan lari-lari, nanti jatuh!!" serunya.

Seakan tuli, kedua putranya itu tak mendengarkan ucapannya. Mereka semakin menjadi-jadi, berlarian menghampiri Gita sambil beradu mulut.

"Lo juga 'kan, kemarin nganterin cewek pulang," ujar sang Abang, Tarendra, tidak mau kalah.

"Kemarin kan, gue abis kerja kelompok. Kebetulan rumah dia searah. Makanya, sebagai laki-laki yang bertanggung jawab, ya gue anterin, lah." sang Adik, Narendra berusaha mengelak.

"Halah. Kata anak-anak, tuh cewek gebetan lo!"

"Apaan, sih. Enggak! Siapa coba yang-"

"Nih, daripada kalian berdua ribut. Mending kalian bantuin Mama siapin alat makan." Gita memotong ucapan putranya. Ia memberikan setumpuk piring dan peralatan makan kepada kedua putranya itu.

"Cepet sana, susun di atas meja!" perintahnya.

Narendra mendengus sebal, sebelum akhirnya melangkah menuju meja makan, diikuti oleh Tarendra dibelakangnya dengan enggan.

Gita menggelengkan kepala melihat tingkah kedua putranya itu. Bukan sebuah hal baru baginya, melihat mereka bertengkar seperti sekarang ini. Walau keduanya sudah berusia 16 tahun, dan dapat dikategorikan sebagai seorang remaja, terkadang tingkah keduanya masih sangat kekanak-kanakan.

"Dek, nggak gitu susun serbetnya," Tarendra membenarkan letak serbet yang baru saja disusun oleh sang Adik.

Belum sampai 5 menit yang lalu mereka saling beradu mulut. Namun sekarang, nampaknya kedua putra kembarnya itu sudah kembali akur lagi. Hal ini membuat Gita tersenyum.
Wanita itu memperhatikan kedua putranya tersebut, wajah keduanya benar-benar jiplakan sang Ayah, membuat ia kadang cemburu karena wajahnya sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan mereka. Namun, Ia merasa amat bersyukur. Penantian panjang nya dulu setelah menikah terbayarkan dengan dikaruniai dua orang putra seperti mereka. Memang setelah menikah, Gita harus bersabar menunggu selama 4 tahun lamanya, sebelum akhirnya berhasil mengandung.

Ingatan Gita seketika terlempar pada peristiwa detik-detik menjelang ia melahirkan kedua putranya itu. Saat itu, ia sudah berada diruang persalinan, sedang menunggu pembukaan bersama suami tercinta yang selalu setia menemaninya. Untuk menghilangkan rasa takut, mereka saling mengobrol hingga akhirnya beradu mulut, memperdebatkan panggilan apa yang yang akan digunakan oleh mereka sebagai orangtua nanti.

"Aku nanti maunya dipanggil Ayah, aja."

"Kok Ayah, sih? 'kan aku maunya dipanggil Mama."

"Loh? emangnya kenapa kalo dipanggil Ayah?"

"Mama kan, temennya Papa. Jadi kamu dipanggil Papa, lah. Nggak nyambung kalo dipanggil Ayah."

"Siapa bilang nggak nyambung? Banyak kok, anak yang manggil orangtua nya Mama sama Ayah."

"Ish.., nggak, mau! Pokoknya kamu dipanggil Papa, aja."

"Yaudah, nanti terserah anaknya, aja. Mau panggil  Papa atau Ayah."

"Ya, pasti Papa, lah. Mereka kan, anak aku. Jadi pasti nurut sama Mamanya."

North Stars | Jeno✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang