34 : Ayang~

8.1K 1.3K 36
                                    

Gue menyesap jus mangga di hadapan gue. Menghela napas panjang sampai akhirnya lumba-lumba atlanta di samping gue melirik gue dengan malas.

"Kenapa lagi lo? Udah baikan sama pacar, kan?" Mulut Cecep mulai nyinyir.

Gue kembali menghela napas lagi dengan dramatis. "Susah ya jadi gue."

Wajah Cecep menunjukkan ekspresi jijik seolah tahu selanjutnya gue akan berkata, "Gimana caranya biar kecantikan gue nggak menyebar kemana-mana?"

Cecep dengan nggak berprikemanusiaan menoyor kepala gue. Gue yang nggak terima balas menoyor kepalanya yang sama sekali nggak ngaruh. Secara perbandingan massa tubuh gue dan dia itu satu banding lima. Dengan memperhatikan tenaga dan sumber energi, jelas kan gue nggak sanggup banyak membalas Cecep.

"Nggak usah mulai ngedrama ya. Gue pusing kalau lo mulai lebay!" Cecep kembali nyinyir. Bedanya dia nggak lanjut merepet dengan gaya melambainya yang biasa. Alih-alih yang dia lakukan sekarang adalah kembali fokus di buku teks di depannya yang memang adalah salah satu buku pengantar perkuliahan.

"Lo abis kesambet di mana? Kok tumben banget belajar sih?" Gue bertanya penasaran. Padahal awalnya gue mau atensi Cecep sepenuhnya untuk gue setelah kalimat ajaib yang sebelumnya gue lontarkan. Gue kan mau curhat mengenai tarantula dan rencana perjodohan kakek ke Cecep. Sedikit sombong karena bisa jadi, gue bakal mempesona dua cowok ketika Cecep nggak bisa menakhlukan Mada.

Ternyata ya, niat jahat memang nggak semulus satin kelas wahid.

"Gue lagi berusaha memperbaiki diri."

Gue semakin nggak paham. Kalau gue ngaca, mungkin gue bisa melihat kerutan dalam di antara kedua mata gue akibat perkataan filosofis Cecep.

Sepertinya Cecep tahu kalau otak gue mulai jempalitan. Karena itu dia akhirnya menutup teks book dan menatap gue serius.

"Gue nggak bisa menyerah soal perasaan gue ke Mada. Seenggaknya bukan sekarang."

"Meski lo udah ditolak lima kali berturut-turut?" Gue membelalakan mata takjub.

"Gue kurang berusaha. Gue harusnya berkaca kalau gue memang nggak banget untuk bisa bersanding dengan orang sekeren Mada. Dia cuma beda satu angkatan di atas kita. Tetapi gue tahu betapa dia bekerja keras bahkan dari semester awal. Gue paham kalau dia menolak gue karena dia juga sedang sibuk-sibuknya ngurus pameran yang bisa menentukan masa depannya."

Gue bisa melihat ketulusan di mata Cecep yang mana membuat gue iri sekaligus marah terhadap Mada. Dia bakalan rugi kalau sampai nggak menyadari perasaan Cecep. Yah, meski dulu Cecep pernah agak melambai. Tetapi dia sudah berubah sekarang. Badannya bahkan sudah mulai nggak berlebihan lagi. Diet sehatnya ternyata berhasil dan gue turut senang buat dia.

"Gue harus memperbaiki diri gue, agar kesempatan keenam gue menyatakan perasaan sama Mada, gue punya kemungkinan diterima sama dia."

"Kalau masih gagal?"

Cecep menghela napas. "Seenggaknya gue berusaha dan nggak semudah itu menyerah."

Gue menepuk pundaknya bangga. "Kalau dengan semua usaha lo dan lo masih tetap di tolak, apa perlu gue bantu pake santet online?"

Cecep melengos. "2020 dan lo masih percaya begituan? Meh~"

Sebelum dia kembali membuka teks book, gue menjauhkan benda itu. Dia mendelik ke arah gue. Mengancam yang mana nggak memberikan efek ke gue. Cecep nggak ada ngeri-ngerinya sama sekali.

"Ya udah. Lo mau cerita apa?"

Gue bersorak. "Akhirnya kan lo mulai perhatian sama gue yang cantiknya semena-mena ini."

Cecep kembali melengos. "Kalau lo nggak buru cerita, gue tampol ya pakai daun teh?!"

Gue meringis mendengar ancamannya. Gue lalu mulai membenarkan posisi duduk. Berdeham sekali karena bagi gue, ajang pamer kali ini akan membuat Cecep jengkel.

"Jadi, gue memang lagi bingung. Gue bingung gimana biar pesona gue nggak bikin orang lain mudah jatuh hati sama gue."

"Jangan kepedean ya."

Gue merengut. "Ya habisnya, kalau ternyata gue ketemuan sama orang yang mau dijodohin kakek sama gue dan dia ternyata jatuh cinta sama gue, kan gue yang susah. Lo tahu betapa mengerikannya kakek dengan firman maha benarnya kan?"

Cecep terhenyak di tempatnya. "Lo seriusan mau dijodohin? Gimana ceritanya? Kok lo baru cerita?"

Eh buset. Gue aja baru tahu kemarin banget.

Gue lalu menceritakan rapat keluarga kemarin. Cerita juga betapa galaunya gue dan apakah gur harus menceritakan hal ini ke ayang tersayang gue.

"Lo harus cerita sih Kay. Jangan sampai dia denger cerita ini dari orang lain."

Gue menghela napas. "Gimana ya? Gue takut nanti Genta marah sama gue."

"Memangnya ada alasan apa kenapa aku marah sama kamu?"

Suara familiar dan keberadaan hawa yang gue akrab membuat gue dan Cecep mematung di tempat. Kami berbalik dan menemukan Genta dengan senyum lebar di wajah tampannya sedang berdiri dengan kedua tangan yang berada di saku celananya.

"A-yang?"

Senyum Genta semakin lebar. Dia lalu mengambil tempat duduk di antara gue dan Cecep. Dia juga merangkul pundak gue mesra yang mana membuat jantung gue semakin goyang disko. Aduh aduh. Kay nggak kuat, Mam.

"Gu-gue ke Pak Pri dulu ya. Mau balikin buku!" Cecep pamit dengan cepat. Mengabaikan teks book miliknya yang masih menjadi sandera gue.

"Dia kenapa panik banget?" Genta bertanya asal. Karena kemudian dia menyesap minuman gue sampai kandas. "Aku pesenin lagi ya minum kamu. Aku haus, Yang."

Dia mengusap-ngusap rambut gue. Segera berteriak ke mamang penjual jus untuk membuatkan minuman yang sama seperti sebelumnya.

"Kamu nggak ada kelas?" Gue bertanya bego. Karena gue sudah hapal bahwa jadwal Genta hanya untuk skripsi dan komprehensif yang memang hanya ada di hari Senin dan Kamis. Sementara ini hari Selasa dan dia memang sangat selow.

"Nggak. Tadi cuma ke studio aja ketemu anak-anak."

Gue mengangguk-angguk. Genta lalu membuka ponselnya yang terdengar bunyi notifikasi whatsapp. Membalasnya untuk beberapa saat sehingga untuk saat ini gue bisa berkelit.

Mamang penjual jus lalu datang dan mengantarkan pesanan Genta. Gue lalu menyesapnya sedikit.

"Jadi, kenapa aku bisa saja marah ke kamu? Kamu nggak ada niat selingkuh, kan?"

Uhuk uhuk.

Gue pun batuk dengan gaya yang nggak cantik. Ayang, pikiran kamu kejauhan!

***

RUMBLINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang