first note

1.4K 176 6
                                    

Sepeninggal Arjuna, pemuda dengan eye smile yang menjadi ciri khasnya itu masih melanjutkan pekerjaannya di ruang OSIS. Dia tak menghiraukan waktu yang terus berjalan, yang terpenting pekerjaannya hari ini dapat terselesaikan. Mungkin dia akan bertahan di sana hingga petang menjemput jika saja seseorang tidak datang ke ruangan tersebut.

"Qerja lembur bagai quda, sampai lupa orangtuwa~"

Jreng~

Angkasa menghentikan kegiatannya, "Maaf pengamen dilarang masuk ruang OSIS," Dia menggeser atensinya dari laptop untuk menatap orang yang baru saja masuk ke ruangan itu.

Yang ditegur pun tidak peduli, dia mendaratkan pantatnya pada sofa yang tersedia. Mencari posisi nyaman untuk menyandarkan punggungnya pada kepala sofa kemudian jemarinya sibuk memetik gitar yang dia bawa sedari tadi.

Angkasa mendengus geli, "Ekstra musik udah ganti hari apa gimana kok masih di sekolah?" Kemudian memusatkan fokusnya kembali pada laptopnya.

"Enggak, habis latihan sama pak Tian," Ujarnya tanpa menatap lawan bicaranya lantaran masih fokus pada gitar, "Ke bar sekarang kuy, Sa."

Angkasa refleks melirik arloji di tangannya, "Masih jam segini, Kak."

"Pengen nongkrong dulu sekalian refreshing. Emang lu ga capek apa ngerjain LPJ mulu? Digaji juga enggak," Wajah pemuda itu tampak innocent apalagi saat memejamkan matanya, mungkin orang akan salah paham dengan umurnya saat pertama kali bertemu dengannya. Benar-benar baby-faced.

Angkasa tertawa renyah, "Tumben nih kak Keru ngajakin dateng awal. Biasanya sampe sana mepet waktu buka."

"Hah lagi capek aja mikirin olimpiade. Ntar lu juga bakal ngerasain posisi gue. Siapa tau habis cuci mata di bar gue bisa dapet hidayah," Keru menegakkan punggungnya lantas mengusap wajahnya dengan kasar.

"Saya lagi berpikir gimana cara nolak tawaran pak Tian," Pria yang lebih muda memasang wajah berpikir sembari mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk.

"Mustahil. Bagi pak Tian tawaran itu adalah perintah," Keru beranjak dari kursinya mendekati dispender di sudut ruangan, "Udah risikonya orang pinter di sekolah ini jadi budak olimpiade. Secepatnya lu bakal gantiin tahta gue setelah gue lengser, karena naik kelas 12 gue harus fokus menghadapi UN."

"Tahta," Angkasa menggelengkan kepalanya dan terkekeh, "Udah kayak jaman Majapahit aja."

Keru meneguk air mineral lalu menghela napasnya pelan, "Jaman penjajahan kita mah. Kerja rodi tanpa gaji."

"Tapi," Si sekretaris OSIS itu kembali menghentikan kegiatannya mengetik pada laptop, "Masih ada Bulan, Kak."

Keru berdecak geli lalu menyandarkan punggungnya pada tembok, "Pak Tian itu satu-satunya guru yang bersih di sekolah ini. Dia ga akan menghancurkan pendiriannya sendiri," Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, menatap adik kelasnya itu dengan lamat, "Dia emang ngasih kesempatan buat Bulan, tapi lu tau sendiri kan itu bocah kayak gimana. Lagipula gue liat liat pak Tian lebih prefer ke lu."

Angkasa menautkan kedua telapak tangannya, air mukanya sulit ditebak. Ada banyak hal yang dia khawatirkan hingga mulutnya tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

"Yesterday is history and tomorrow is a mistery," Pengucapan Keru sesejuk embun dan setenang angin yang berhembus di musim semi itu membuat setiap kata yang terlontar dari belah bibirnya tertanam kuat dalam benak Angkasa.

"Jangan mikirin masa lalu mulu, cukup ambil pelajarannya. Dan jangan jadiin sesuatu yang belom pasti terjadi di masa depan itu ngebikin lu ragu atau takut buat melangkah maju," Lanjut sang Kakak kelas.

SEMESTA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang