[⚠ gue ga saranin cerita ini untuk dibaca karena cerita ini sebenernya gue tulis untuk orang-orang yang gue sayang sebagai bentuk apresiasi kenangan-kenangan yang pernah dilewati bersama. Tapi kalo kepo mau baca juga gue ga ngelarang. Read at your o...
Angkasa berusaha memacu motornya dengan kecepatan tinggi, berharap mereka bisa cepat sampai ke rumah sakit. Sekilas Angkasa menatap Bulan melalui pantulan bayangan orang tersebut pada kaca spion motor, menampakkan Bulan yang tengah bersandar pada punggungnya tak berdaya.
Angkasa tidak peduli apapun, dengan gesit dia menyalip setiap kendaraan yang berusaha menghalangi jalannya. Yang dia pikirkan sekarang hanya lah keselamatan Bulan, saudaranya. Dia tidak ingin membuat Bulan merasa kesakitan terlalu lama. Karena dia juga merasakan sakit yang sama ketika melihat saudaranya itu terluka.
"Bulanㅡ"
Si pemilik nama yang disebut tak merespon, bukan karena tak mendengarnya. Angkasa berbicara dengan nada yang cukup bisa didengar meski harus bersaing dengan suara bising mesin kendaraan.
"Maaf..." Angkasa masih melanjutkan kalimatnya, dia menggigit bibir bawahnya karena tak kuasa menahan rasa bersalah yang memenuhi dadanya.
"Maafin kak Angkasa karena gagal jaga kamu, Na."
Bulan mendengarnya. Namun saat itu Bulan tak memiliki tenaga untuk sekadar mengeluarkan suara. Sekujur tubuhnya terasa lemas, bahkan pegangan tangan Bulan pada pinggang Angkasa pun perlahan mengendur.
Angkasa sedikit menoleh ke belakang saat dirasa pegangan tangan Bulan pada pinggangnya hampir terlepas. Dengan cepat dia meraih lengan Bulan dan memegangnya dengan erat agar Bulan tak terjatuh dari motornya.
"Nana?" Panggilnya lagi.
"Na... jawab kalo kamu masih sadar."
Dadanya terasa sesak, Bulan memejamkan matanya erat menahan rasa sakit. Darah yang mengalir dari hidungnya mengotori kain seragam pada punggung Angkasa. Sementara Angkasa masih terus memacu motornya menuju rumah sakit.
"S...sakitㅡ" Hanya kata itu yang berhasil lolos dari belah bibir Bulan.
"Syukur lah kalo kamu masih sadar," Angkasa sedikit merasa lega mendengarnya, setidaknya Bulan masih tersadar. Dia pun kembali fokus menyetir motornya, "Tolong bertahan, Na. Kita hampir sampai."
Bulan menjawab dengan anggukan kepala yang sangat pelan. Dia berusaha keras untuk mempertahankan kesadarannya.
Sesampainya di rumah sakit, Bulan harus dirawat inap. Pembuluh darah di hidung Bulan pecah akibat tinjuan dari Joni menyebabkan pemuda itu mengalami pendarahan yang parah. Dia sempat kehilangan banyak darah, nasib baik Angkasa tidak terlambat membawa Bulan ke rumah sakit.
Dari balik kaca kecil pada pintu ruang perawatan itu, Angkasa menatap Bulan yang masih terbaring lemah di dalam sana. Walaupun Bulan belum terbangun dari pingsannya, Angkasa tak berani masuk untuk mendekat. Melihat kondisi Bulan yang seperti itu membuat perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. Jika saja tadi dia keluar dari area lebih awal, Joni dan Jefri pasti tidak akan bertemu dengan Bulan.
Tak lama kemudian, Angkasa merasakan kehadiran seseorang yang mendekat ke arahnya. Refleks menoleh, dia melihat ayahnya yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Angkasa yang meminta pihak rumah sakit untuk mengabari Satrianda. Pasalnya dia tidak memiliki kontak ayahnya itu. Pihak rumah sakit pasti memiliki kontak orang penting seperti Satrianda, pikirnya tadi.
"Pergi," Ucap Satrianda sesaat setelah pria itu memalingkan wajahnya, berusaha untuk tak berkontak mata dengan Angkasa. Satrianda menatap putranya yang terbaring di dalam sana, "Saya sudah peringatkan Fadia supaya kalian jangan pernah sentuh kehidupan saya lagi. Apapun yang berhubungan dengan saya, termasuk Bulan. Kita sudah punya kehidupan masing-masing."
Mendengar nama bundanya disebut bersama kalimat yang menusuk hatinya, Angkasa meremas kepalan tangannya sendiri.
Belum sempat menjawab, Angkasa menatap Satrianda yang langsung beringsut masuk ke dalam ruangan itu. Satrianda selalu berusaha menghindari kontak secara langsung dengan Angkasa, karena pemuda itu mengingatkannya pada mantan istrinya. Perasaan kecewa dalam diri Satrianda terhadap wanita itu sampai saat ini belum sirna.
Angkasa masih tak bergerak dari tempatnya berdiri. Dia memperhatikan gerak-gerik Satrianda di dalam ruangan itu.
Saat tangan Satrianda membelai kepala Bulan dengan lembut, saat Satrianda menatap khawatir pada Bulan yang masih belum tersadar. Membuat Angkasa merasa penasaran, bagaimana rasanya saat tangan Ayah membelai kepalanya? Apakah terasa nyaman? Dan bagaimana rasanya saat mendapatkan perhatian dari seorang ayah? Angkasa sangat ingin tahu rasanya.
Angkasa beranjak pergi dari tempat itu, dengan membawa seluruh lukanya seorang diri.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malamnya Bintang datang mengunjungi Bulan di rumah sakit. Untungnya Bulan sudah tersadar dari pingsannya. Meski masih merasa lemas, tapi keadaan Bulan berangsur membaik. Pemuda itu duduk di atas bangsal dengan menyandarkan punggungnya pada bantal yang ditegakkan.
"Makasih, Rin. Kamu udah dateng ke sini," Ucap Bulan seraya mengukir senyuman pada bibirnya yang nampak pucat.
Bintang tersenyum sekilas, perempuan itu duduk pada kursi yang disediakan di samping bangsal, "Apa kamu udah ngucapin makasih ke Angkasa karena dia yang udah bawa kamu ke rumah sakit?"
Pertanyaan dari Bintang membuat Bulan mengernyitkan keningnya, dia terhenyak karena tiba-tiba Bintang membahas soal itu, "Jangan bahas soal itu."
"Kapan kamu berhenti bersikap tak acuh sama Angkasa seperti itu? Angkasa itu peduli sama kamu asal kamu tau, Ren," Bintang berujar dengan pelan. Dia sudah tidak tahan lagi dengan perang dingin yang terjadi diantara Bulan dan Angkasa.
Bulan termenung, dia teringat dengan kejadian siang tadi. Perdebatan antara Angkasa dengan Joni dan Jefri yang dia dengar samar-samar. Dan dia sempat mendengar kalau Angkasa melindunginya dari Joni dan Jefri selama ini. Lalu kemudian dia teringat ketika Angkasa melindunginya dari pukulan Jefri yang justru malah melukai Angkasa.
"Aku rasa udah saatnya kamu tau semuanya, Ren," Bintang kembali angkat bicara, perempuan itu menatap lekat pada Bulan.
Bulan membalas tatapan mata Bintang, "Tau apa, Rin?"
Malam itu, Bintang membongkar semuanya. Dia menceritakan bagaimana awalnya dia mengenal Angkasa. Tentang dirinya yang pernah menjalin hubungan dengan Angkasa di masa lalu. Bahkan tentang perhatian-perhatian kecil yang Angkasa berikan pada Bulan secara diam-diam. Membawakan bekal makanan untuk Bulan yang dititipkan pada Bintang.
Memberitahu Bintang agar memperingatkan Bulan untuk mengurangi minum kopi, menjauhi hal-hal yang bisa menyebabkan asam lambung Bulan kambuh. Meminta Bintang untuk menjaga Bulan dengan baik, karena Angkasa tidak bisa melakukan itu secara langsung. Semua itu Angkasa lakukan karena rasa pedulinya yang tulus pada Bulan.
"Jadi, selama ini perhatian yang kamu kasih ke aku itu karena Angkasa yang suruh kamu begitu?" Bulan menyimpulkan setelah mendengar cerita dari Bintang, pemuda itu memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. "Aku pikir kamu ngelakuin itu karena kamu peduli sama aku."
"Renㅡ"
"Oh iya ternyata kamu mantannya Angkasa ya," Potong Bulan dengan cepat, dia kembali menatap Bintang.
"Iya..."
"Apa kamu masih cinta sama Angkasa?"
Setelah mendengar cerita dari Bintang, akhirnya rasa penasaran Bulan selama ini terjawab. Ternyata yang menyebabkan Bintang sering mendatangi Angkasa saat jam pelajaran berakhir adalah karena masalah kotak makanan. Pada saat itu Bulan berpikir Bintang dan Angkasa menjadi dekat karena mereka memiliki hubungan lebih dari sekadar rekan di organisasi.
Memikirkan hal itu membuat Bulan selalu merasa ragu untuk berjuang meresmikan hubungannya dengan Bintang. Namun malam itu Bulan justru mendapatkan fakta yang lebih mengejutkan. Ternyata Bintang dan Angkasa memang pernah menjalin hubungan sebelumnya. Hal itu membuat Bulan semakin merasa ragu tentang kepastian perasaannya pada Bintang.