twelfth note

852 169 3
                                    

Arjuna berjalan keluar dari kamar dengan sehelai handuk yang melingkar di lehernya. Dia mengeringkan rambutnya yang masih sedikit basah menggunakan itu. Pemuda itu berjalan memasuki area ruang tengah. Terlihat kedua orangtuanya yang sedang menonton TV di sana.

Lantas Arjuna mendudukkan dirinya di lantai yang beralaskan karpet tebal. Tepat di bawah Mama yang duduk di atas sofa. Menyadari kehadiran putra bungsunya yang bergabung di sana, dengan gemas Mama mengusak rambut Arjuna menggunakan handuk yang dibawa anaknya itu.

"Gimana kegiatanmu di gunung? Lancar?" Tanya Mama membuka obrolan.

Arjuna mengangguk, menikmati perlakuan Mama yang menyisir rambut anaknya dengan jemari lentiknya, "Lancar, Ma."

"Kamu ga kenapa-kenapa kan? Di sana suhunya pasti dingin banget."

Arjuna meneguk ludah kasar mendengar pertanyaan berikutnya dari Mama. Mendadak dia teringat kejadian itu lagi. Arjuna menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Ga kok Ma! Mama bisa liat sendiri aku baik-baik aja nih," Arjuna menoleh untuk menunjukkan senyuman termanisnya pada Mama. Membuat Mama ikut tersenyum lega melihatnya.

"Temanmu yang datang ke rumah waktu itu, si Angkasa. Dia gimana?" Sambung Papa tiba-tiba, pria paruh baya yang duduk di samping Mama itu melirik sekilas lalu kembali fokus pada layar TV.

"Ah iya orang itu, sepertinya dia jaga Arjuna dengan baik loh, Pa," Belum sempat Arjuna mengeluarkan kalimatnya, Mama sudah menjawab pertanyaan Papa lebih dulu.

Mendengar penuturan Mama yang mengejutkan, Arjuna pun tidak jadi mengatupkan bibirnya, "Mama tau darimana?"

"Tadi Mama liat dia ga jauh dari rumah waktu Mama pulang dari kantor, semacam lagi mastiin kamu sampai di rumah dengan selamat. Soalnya setelah kamu masuk rumah dia baru pergi," Mama tersenyum sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dia ngikutin kamu pulang kan?"

Tolong berikan topeng untuk Arjuna. Karena sekarang wajahnya sudah merona semerah kepiting yang telah dimasak. Arjuna tak berani menatap kedua orangtuanya. Netranya dia paksa untuk terfokus pada layar TV di depannya. Dia tidak tahu harus menjawab apa, karena apa yang dikatakan oleh Mama itu memang kenyataannya.

"Gitu ya? Papa jadi penasaran sama dia," Papa menekan tombol di remot untuk memindah saluran TV, "Kamu tau siapa orangtua dia, Jun? Soalnya Papa merasa ga asing sama gaya bicara dia."

"Ga tau, Pa. Kami ga sedeket itu, sebatas rekan organisasi," Jawab Arjuna dengan lugas.

Setelahnya mereka tidak melanjutkan pembahasan mengenai Angkasa lagi. Hanya obrolan-obrolan biasa yang mereka bicarakan di sana. Dan selalunya tidak luput dari petuah-petuah agar Arjuna selalu patuh dengan peraturan dari kedua orangtuanya itu. Katanya semua itu demi kebaikan masa depan Arjuna. Baiklah, lagipula Arjuna tidak mempunyai kuasa untuk membantah orangtuanya.

Setidaknya karena tindakan Angkasa saat memintakan ijin waktu itu, dia jadi terinspirasi untuk lebih berani terbuka kepada orangtuanya. Tanpa ragu Arjuna mengutarakan niatnya yang ingin melanjutkan keikutsertaannya dalam mengurus OSIS satu periode lagi. Bagaimana pun restu orangtua adalah hal yang utama. Untungnya Papa yang biasanya memberikan respon keras menjadi lebih tenang saat menanggapi keinginan putranya tersebut.

"Asal kegiatan itu tidak mengganggu aktifitas belajarmu, Papa ijinkan. Tapi ingat satu syarat yang sudah pernah Papa katakan sama kamu," Papa menampakkan air muka yang lebih ramah dari biasanya.

Arjuna mengangguk teguh, "Arjuna akan berusaha perbaiki nilai semester ini."

"Kalau begitu Mama siapkan makan malam sekarang ya. Setelah itu kamu harus belajar, besok sudah mulai UAS kan?" Mama kembali mengusak rambut Arjuna dengan lembut, lalu beranjak dari tempat duduknya.

SEMESTA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang