Semalam Keru dan Haikal bertengkar karena hal sepele, alhasil Haikal marah pada Keru. Keru berjalan keluar dari kelas menghela napasnya, sekali lagi dia memeriksa ruang obrolan dengan kekasihnya itu. Berharap ada pesan dari Haikal karena dia sudah tidak marah padanya. Namun harapannya pupus ketika yang dia dapatkan hanya pesan terakhir Haikal yang sudah dia baca tadi malam.
Fullsun♡
Kita ga usah ketemu
besok! Aku ngambek
sama Kakak!Bahkan pesan balasan darinya tidak dibalas kembali oleh Haikal. Karena itu lah dia memilih untuk pergi ke lapangan basket saat jam istirahat. Memberikan waktu kepada Haikal untuk menenangkan diri. Keru sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Pertengkaran-pertengkaran kecil dalam sebuah hubungan adalah hal yang wajar.
Lapangan basket tampak lengang, tapi dia mendengar suara pantulan bola basket dengan lantai berulang kali. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru lapangan, manik matanya menemukan perawakan Angkasa yang sedang mendribble bola basket di sana. Angkasa asik bermain basket seorang diri sampai tidak menyadari kedatangan Keru yang semakin mendekatinya, dari arah belakang.
"Ga latian olimpiade, Sa?" Keru merebut bola basket dari Angkasa lalu mendribblenya dengan berjalan perlahan menjauhi Angkasa.
Merasa ditantang, Angkasa pun mencoba merebut bola itu dari Keru namun naas kakak kelasnya itu menghindar dengan tangkas, "Engga. Saya udah ngundurin diri, Kak."
Raut wajah Keru berubah terkejut mendengarnya, dia kemudian menerobos tubuh Angkasa yang mencoba menghalanginya. Mendribble bola dengan cepat menuju ring, dia pun sukses melakukan shooting.
Keru membiarkan bola itu menggelinding di lantai, lantas berbalik untuk menatap Angkasa, "Lu udah gila ya?"
"Saya lakuin itu demi Bulan," Angkasa hanya berdiri di tempatnya, menatap Keru dari jarak 3 meter.
"Bodoh," Keru berdecak kesal, "Padahal lu udah tau kalo lu bisa ketemu sama bokap lu di olimpiade itu. Kenapa lu malah ngorbanin kesempatan itu buat orang lain? Hadeh ga habis pikir gue sama lu."
Memang, itu adalah faktor utama yang membuat Angkasa berminat mengikuti olimpiade. Karena dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk bertemu ayahnya selama ini. Bertahun-tahun setelah ayah dan bundanya berpisah, dia tidak pernah bertemu dengan ayahnya lagi. Dan tidak mungkin Angkasa harus mendatangi rumah ayahnya kemudian berkata 'ayah ini aku anak yang sudah kamu lupakan'. Yang ada dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri di hadapan ayahnya.
Mungkin, olimpiade itu menjadi satu-satunya cara termudah bagi Angkasa untuk bisa bertemu dengan ayahnya.
"Kalaupun saya bisa ketemu sama dia, belum tentu dia mau ngakuin saya lagi," Kalimat yang Angkasa lontarkan terdengar pasrah.
Keru memperhatikan Angkasa yang berjalan mengambil bola yang tergeletak di atas lantai, "Jadi lu udah nyerah?"
"Ga juga," Angkasa mengangkat bahunya ringan, "Saya cuma lagi mikir cara lain."
"Terserah lu dah," Keru mengibaskan tangan kanannya tak acuh, "Ngomong sama orang keras kepala kayak lu bikin gue laper. Gue mau ke kantin," Pemuda itu pun berjalan meninggalkan area lapangan basket.
Sepeninggal Keru, Angkasa kembali bermain basket seorang diri. Sesungguhnya kemarin pak Tian memberikannya kesempatan untuk berpikir selama tiga hari. Sedangkan pada hari kedua ini Angkasa masih bimbang untuk memutuskan akan lanjut atau benar-benar mundur. Sejak tadi dia terus berpikir sendirian di lapangan ini, kemudian Keru datang dan pergi lagi.
Kini Angkasa kembali berpikir dalam kesendirian. Hanya ditemani oleh bola basket yang dia dribble ditempat. Sama sekali tak berniat memasukkan bola itu ke dalam ring. Dia menatap bola yang memantul berulang kali itu dengan lekat. Sampai tiba-tiba seseorang menangkis bola itu dengan keras dari tangannya, bola itu pun menggelinding jauh.
"Kenapa lu mau ngundurin diri dari olimpiade karena gue?" Bulan, yang entah sejak kapan masuk ke lapangan basket, pemuda itu sekarang sudah berdiri di hapadan Angkasa.
Angkasa sangat terkejut dengan kedatangan Bulan, apalagi melihat air muka Bulan yang tampak tak bersahabat, "Siapa bilang? Saya ngundurin diri karena saya emang pengen. Bukan karena kamu."
Bulan mendecih, "Gue udah denger semuanya dari pak Tian."
"Pak Tian ngomong apa?" Angkasa mengerutkan dahinya merasa penasaran.
"Semuanya. Tentang kekhawatiran dia soal kondisi gue, tentang alasan lu mau ngundurin diri, semuanya gue udah denger!" Bulan menaikkan nada bicaranya, dia terlihat tidak bisa menahan emosinya lagi. "Lu ga perlu ngelakuin itu! Gue ga butuh belas kasian dari lu!"
Angkasa meneguk ludahnya kasar, dia merasa seperti terlempar kembali pada kenangan beberapa tahun lalu.
Pada saat itu Angkasa dan Bulan selalu berada di dalam satu kelas yang sama ketika SMP. Angkasa tidak pernah melupakan perannya sebagai seorang kakak bagi Bulan. Jiwa itu telah melekat dalam dirinya, walaupun dia tidak bisa mengungkapkan kepeduliannya secara gamblang pada Bulan karena perang dingin yang terjadi diantara mereka.
Angkasa paham betul dengan kondisi Bulan yang lemah. Dia selalu merasa khawatir ketika kelemahan Bulan itu kambuh di sekolah. Akibat dari Bulan yang selalu memaksakan dirinya untuk berpikir ekstra. Diam-diam Angkasa selalu menitipkan buku catatannya pada teman sekelasnya agar diberikan kepada Bulan. Karena Bulan sering ketinggalan pelajaran ketika sakit.
Sayangnya, hal itu tidak bertahan lama. Pasalnya lambat laun Bulan mengenali tulisan Angkasa pada buku catatan yang sering dipinjamkan oleh temannya tanpa diminta. Dia pikir temannya itu memang benar-benar peduli dan baik padanya. Tapi ternyata ada Angkasa yang menjadi dalang dibalik semua itu.
Bulan tak bisa menahan amarahnya. Dia lemparkan buku catatan itu pada Angkasa, di lapangan upacara ketika semua siswa sudah pulang. Kemudian kalimat yang Bulan katakan pada saat itu tertanam dalam benak Angkasa hingga sekarang.
"Ga usah sok peduli sama gue! Gue ga butuh belas kasian dari lu!"
"Berhenti sok peduli sama gue! Karena lu dari awal emang ga pernah bener-bener peduli! Lu cuma kasian kan sama gue?!" Bulan mengepalkan tangannya erat sampai buku-buku jarinya memutih, bahunya naik turun karena menahan emosi. "Kalo lu emang peduli sama gue, harusnya lu ga pergiㅡ" Tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya, Bulan merasa tenggorokannya tercekat.
"Bulan...," Angkasa menurunkan pandangannya, dia tidak mampu menatap Bulan. Bukan keinginannya untuk pergi, dia juga tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi diantara orangtua mereka. Dia juga hanyaㅡ korban.
"Gue benci sama lu," Kalimat itu keluar dari belah bibir Bulan tanpa ragu.
Angkasa memejamkan matanya erat, mungkin dia memang pantas untuk dibenci Bulan. Dia sama sekali tidak menyanggahnya. Selama ini, dia selalu diselimuti dengan rasa bersalah pada Bulan.
Bulan menghela napas panjang, mencoba untuk lebih tenang, "Gue bakal bener-bener benci sama lu kalo lu beneran mundur. Ayo sekali lagi kita bersaing secara fair."
Angkasa membuka matanya dengan cepat, ditatapnya tangan Bulan yang terjulur padanya. Dengan gerakan yang patah-patah, Angkasa pun menjabat tangan Bulan tanda sepakat. Tidak lama Bulan melepaskan jabatan tangan mereka. Pemuda itu beringsut dari lapangan tanpa berkata apa-apa.
Olimpiade ini sangat penting bagi Bulan. Dia ingin membuktikan kepada semua orang bahwa dia mampu karena usahanya sendiri. Dia ingin semua orang berhenti memandangnya dengan sebelah mata. Ingin mematahkan argumen mereka bahwa dia mampu bukan karena power yang dimiliki oleh ayahnya. Dia juga tidak mau pak Tian memilihnya karena terpaksa akibat dari Angkasa yang mengundurkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [✓]
Fanfiction[⚠ gue ga saranin cerita ini untuk dibaca karena cerita ini sebenernya gue tulis untuk orang-orang yang gue sayang sebagai bentuk apresiasi kenangan-kenangan yang pernah dilewati bersama. Tapi kalo kepo mau baca juga gue ga ngelarang. Read at your o...