twenty eighth note

808 141 0
                                    

Ada sedikit unsur kekerasan, mohon bijak dalam membaca
━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Setelah melewati hari-hari yang penuh kegelisahan dan kebimbangan, akhirnya Angkasa menemukan waktu yang tepat untuk coming out kepada bundanya. Dia memilih hari Minggu, karena pada hari itu dia memiliki lebih banyak waktu daripada hari biasa untuk bertemu dengan Bunda di rumah. Pasalnya kalau hari biasa Bunda sibuk bekerja. Meskipun Angkasa juga kerja part time setiap hari, tapi dia punya waktu bersantai dari pagi hingga sore di hari Sabtu dan Minggu.

Angkasa menghampiri Bunda yang sedang menonton TV di ruang tengah. Pemuda itu mendudukkan diri di samping Bunda, lantas menyandarkan kepalanya pada bahu wanita itu. Dia mengusak bahu Bunda menggunakan kepalanya dengan manja. Angkasa menghirup aroma tubuh Bunda yang membuatnya merasa nyaman.

Bunda yang merasa geli karena usakan dari Angkasa pun menarik hidung putranya itu dengan gemas, "Kamu kenapa tumben manja begini?" Seiring dengan Angkasa yang beranjak dewasa, jarang sekali dia melihat Angkasa bersikap manja seperti itu.

Angkasa terdiam beberapa saat, menikmati perlakuan Bunda yang mengusap kepalanya dengan lembut, "Bunda..." Panggilnya dengan pelan.

"Kenapa sayang?" Wanita itu menurunkan pandangannya menatap wajah Angkasa.

Angkasa melingkarkan tangannya pada pinggang Bunda, mengeratkan pelukan dan memejamkan mata, "Maaf Angkasa belum bisa jadi anak yang baik untuk Bunda."

Bunda terhenyak mendengarnya, dia mengangkat kedua alisnya, "Siapa bilang kamu begitu?"

"Angkasa hanya takut mengecewakan Bundaㅡ" Angkasa menggigit bibir bawahnya dengan kuat.

Tenggorokan Angkasa tercekat, entah kenapa rasanya tidak semudah saat dia coming out kepada pak Tian. Semua yang ingin dia ungkapkan pada Bunda seperti tertahan di tenggorokannya, terkunci di sana, dan sulit dikeluarkan. Mungkin karena Bunda adalah orang yang melahirkannya ke dunia ini. Membayangkan perasaan Bunda yang terluka jika mengetahui hal itu membuat Angkasa merasa takut.

"Angkasa anak yang baik, kamu ga pernah mengecewakan Bunda. Dan Bunda sayang sama kamu," Bunda menempelkan pipinya pada pucuk kepala Angkasa seraya mengusap lengan atas putranya dengan sayang.

Perlahan Angkasa membuka kedua kelopak matanya, dia menarik diri dari dekapan wanita itu. Kemudian dia angkat kepalanya, memberanikan diri untuk berkontak mata dengan Bunda.

"Bundaㅡ sebenarnya....," Angkasa menelan ludahnya, mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengeluarkan semua hal yang tertahan dari dalam dirinya satu per satu, "Angkasa ga bisa sukaㅡ sama... perempuan. Angkasa... suka samaㅡ laki-laki.... maaf."

Angkasa menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya dalam-dalam. Dia meremat kepalan tangannya sendiri, pasrah dengan apapun tanggapan yang akan diberikan oleh Bunda.

"Maafin Angkasa....," Ucap Angkasa lagi dengan nada yang bergetar, dia berusaha terlalu keras menahan untuk tidak menangis.

Bunda terdiam cukup lama, dia tengah mencoba mencerna kalimat yang diucapkan oleh Angkasa. Tak menyangka, terkejut, dan bingung, semua perasaan itu tercampur aduk dalam benaknya.

Wanita itu menatap Angkasa dengan lekat, perlahan dia julurkan tangannya untuk menangkup wajah putranya. Dengan ibu jarinya, dia mengusap air mata yang mulai mengalir di pipi Angkasa, "Angkasaㅡ Bunda ga tau harus berkata apa. Tapi, apa kamu merasa bahagia dengan itu?"

Angkasa berdeham untuk melegakan tenggorokannya, "Awalnya Angkasa terus berusaha untuk menolaknya. Karena ga seharusnya Angkasa seperti itu. Angkasa selalu memikirkan perkataan orang-orang di sekitar Angkasa. Tapi ketika Angkasa semakin menolaknya, rasanya jadi semakin sakit. Angkasa merasa lebih bahagia ketika Angkasa bisa menerima diri Angkasa sendiri yang seperti itu."

SEMESTA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang