twenty sixth note

881 157 51
                                    

"Kamu grogi, Sa?" Pak Tian yang duduk di kursi kemudi memperhatikan wajah Angkasa di sampingnya.

Angkasa mengerjap sekali kemudian menoleh ke arah pak Tian, "Engga, Pak. Sama sekali ga ngerasa grogi."

Pak Tian menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan cepat, "Kamu yang mau olimpiade kok saya yang ngerasa grogi ya." Pria itu terkekeh sembari menggelengkan kepalanya.

Jadi, Angkasa lah yang memenangkan seleksi perwakilan sekolah untuk maju ke olimpiade hari ini. Sekarang mereka tengah berada di perjalanan menuju tempat yang akan digunakan untuk menyelenggarakan olimpiade. Angkasa hanya didampingi oleh pak Tian selaku guru pembimbingnya.

"Saya akan berusaha semaksimal mungkin," Ucap Angkasa mencoba menenangkan pak Tian.

Pak Tian menepuk bahu muridnya itu dengan pelan, "Saya percaya sama kamu."

Angkasa tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang rapi, "Terimakasih karena sudah menaruh kepercayaan kepada saya, Pak. Karena Bapak, rasanya saya kayak punya ayah lagi," Dia tidak sedang memuji, kalimat itu tulus dari dalam hatinya. Selama ini pak Tian telah banyak membantunya. Sampai rasanya Angkasa menemukan figur seorang ayah yang telah lama tidak pernah dia rasakan pada diri pak Tian.

"Kamu bisa anggap saya kayak ayah kamu sendiri," pak Tian tersenyum tanpa menatap ke arah lawan bicaranya, dia tengah fokus menyetir mobil, "Kita bisa lebih akrab lagi dan kamu bisa cerita apa aja ke saya kalo kamu mau. Saya sama Keru juga begitu, semenjak kami sering interaksi karena olimpiade. Dia ga pernah sungkan cerita banyak hal sama saya, kami malah udah kayak temen sebaya sekarang." Lanjutnya diikuti dengan suara kekehan yang renyah.

Usia pak Tian tergolong masih muda, tahun ini usianya genap 34 tahun. Wajar jika dia mudah akrab dan berbaur dengan murid-muridnya. Dari kejauhan, gedung tempat olimpiade sudah terlihat. Pak Tian membawa mobilnya memasuki area parkir yang telah disediakan. Mereka pun turun dari mobil kemudian berjalan masuk ke dalam gedung tersebut.

Olimpiade berlangsung dengan sengit. Orang-orang yang menjadi perwakilan dari sekolah mereka bukan lah orang-orang biasa. Pak Tian dari kursi penonton terlihat tegang menyaksikan muridnya yang tengah berkompetisi dengan perwakilan sekolah-sekolah lain. Dia sampai menggigiti kuku jarinya sendiri saking cemasnya. Babak demi babak mereka lalui, dan satu per satu peserta berguguran.

Angkasa berhasil bertahan hingga ke babak final beserta 2 peserta perwakilan dari sekolah lain. Pak Tian mendekati Angkasa saat sesi istirahat, dia memberikan semangat dan pesan-pesan motivasi pada muridnya itu. Pada akhirnya tiba saatnya babak final dimulai, babak yang akan menentukan juara 1, 2, dan 3.

Terkadang Angkasa mengedarkan matanya ke penjuru ruangan tersebut, berharap dapat menemukan perawakan ayahnya diantara para pejabat yang turut menyaksikan. Namun nihil, orang yang dia harapkan tidak ada di sana, mungkin belum saatnya, tapi nanti.

"Penyerahan piala dan hadiah juara 2 saudara Rayhan Bakti oleh bapak Danar selaku Wakil Wali Kota. Kepada bapak Danar waktu dan tempat kami persilakan," MC mempersilakan Wakil Wali Kota untuk melakukan penyerahan piala dan hadiah kepada juara 2 dari olimpiade tersebut.

Setelah kompetisi selesai, ketiga pemenang olimpiade diminta berdiri di atas panggung untuk menerima piala dan hadiah mereka. Pada saat itu, akhirnya Angkasa bisa melihat seseorang yang sangat ingin dia temui. Ayahnya, pria itu tengah duduk pada kursi VVIP yang ada di sana. Angkasa yakin setelah ini ayahnya akan naik ke panggung untuk menyerahkan piala dan hadiah.

Sekian tahun Angkasa tidak pernah bertemu ayahnya lagi. Tidak begitu banyak yang berubah dari pria itu. Hanya saja kerutan pada wajah ayahnya tampak semakin jelas. Beberapa rambut ayahnya juga mulai memutih. Perangainya yang tegas tak sedikit pun meluntur. Benar-benar sosok yang selalu Angkasa rindukan kehadirannya selama ini.

SEMESTA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang