fifthteen note

832 152 5
                                    

Bintang tersenyum-senyum sendiri membaca ucapan-ucapan yang datang dari teman-temannya melalui chat. Dia menutup bukunya, kemudian beranjak dari kursi belajarnya. Mendudukkan diri di atas ranjang lalu menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, Bintang sibuk membalasi pesan mereka.

Meski dia tidak bisa merayakan ulang tahunnya bersama kedua orangtuanya karena mereka sibuk bekerja, Bintang tetap merasa bahagia. Sebab dia masih diberikan kesempatan untuk merayakan hari spesialnya bersama teman-temannya saat di sekolah tadi. Sedikit kecewa karena dia tidak bisa mengundang teman-temannya ke rumah. Kakak laki-lakinya itu tidak suka keramaian.

Tapi hal itu tidak menjadi masalah baginya. Bahkan dia mendapatkan kejutan tak terduga dari Dani saat pulang tadi. Ternyata membuat pesta kecil-kecilan di rumah hanya berdua antara kakak dan adik tidak kalah serunya juga. Dia juga mendapat hadiah dari kakaknya itu, berupa laptop baru.

Namun rasanya seperti ada yang kurang.

"Apa dia lupa?" Bintang menggeser layar ponselnya dan mengetuk ruang obrolan dirinya dengan Angkasa.

Biasanya, Angkasa akan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Tadi malam dia sengaja begadang untuk menunggu ucapan dari Angkasa pada jam 00:00 tepat saat pergantian hari. Hal itu seperti sudah menjadi kebiasaan mereka dulu saat masih memiliki hubungan. Kebiasaan itu sempat terhenti karena Angkasa pernah menghilang setelah dikeluarkan dari sekolah. Mereka menjadi putus komunikasi saat itu.

Tapi keadaan saat ini berbeda, Angkasa sudah kembali. Dia pikir Angkasa akan melakukan hal yang sama seperti dulu. Sekarang hanya kenyataan pahit yang dia terima. Dia merasa kecewa dengan Angkasa. Berulang kali dia memeriksa ponselnya, berharap akan ada notifikasi dari orang yang ditunggunya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 00:13 dini hari tapi tidak ada pesan apapun dari Angkasa, hari sudah berganti.

"Kamu udah berubah, Angkasa," Monolognya, Bintang menatap langit-langit kamarnya.

Entah harus sampai kapan dia menunggu Angkasa. Mantan kekasihnya itu tak pernah memberikan batas waktu. Akan tetapi Bintang bersikeras untuk terus menunggu pemuda itu sampai bisa mengakui kembali jati dirinya. Dan berharap dia bisa bersama Angkasa lagi seperti dulu.

Perlahan harapannya terkikis seiring berjalannya waktu. Bintang mulai merasa ragu dengan keyakinannya sendiri. Angkasa yang dulu bukan lah yang sekarang. Angkasa yang dia kenal tidak pernah melakukan tindakan kelewat batas seperti pergi ke Bar. Dan kekecewaannya hari ini pada pemuda itu semakin membuatnya ingin... mundur.

Bintang memiringkan tubuhnya, dia menatap boneka Rillakuma besar pemberian Bulan yang diletakkan pada sudut kamarnya, "Mungkin udah saatnya aku buka hati untuk orang baru."

Membuang napas kasar, Bintang mendadak bangkit duduk sembari mengacak rambutnya frustasi.

Dia teringat lagi dengan kejadian yang telah berlalu sekian tahun lalu. Jika bukan karena kakaknya, hubungannya dengan Angkasa tidak akan berakhir seperti itu dulu. Dia jadi merasa bersalah pada Angkasa. Seperti memiliki tanggungjawab atas luka yang pemuda itu dapatkan dari perkataan kakaknya di masa lalu.

"Aku mau berhenti, tapi aku ga bisa. Jadi aku harus gimana, Angkasa?" Perempuan itu kembali membaringkan tubuhnya, membenamkan wajahnya pada bantal.

Bagi sebagian orang, menunggu itu menyakitkan. Tapi melupakan juga bukan hal yang mudah. Yang lebih parahnya adalah ketika bimbang antara harus menunggu atau melupakan.

Meski jalanan tampak lengang pada dini hari, Angkasa memacu motornya dengan kecepatan rendah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Meski jalanan tampak lengang pada dini hari, Angkasa memacu motornya dengan kecepatan rendah. Dia sedang dalam perjalanan pulang dari tempatnya bekerja. Matanya terfokus pada jalanan di hadapannya, namun benaknya berkelana memikirkan banyak hal. Dia membatalkan niat awalnya yang ingin menjadi orang terakhir yang mengucapkan selamat ulang tahun pada Bintang.

Hanya karena kejadian siang tadi, saat dirinya melihat Bintang bersama Bulan di rooftop.

"Apakah aku masih pantas untuk jatuh cinta pada Bintang?" Andaikan angin malam yang menemani perjalanannya pulang bisa berbicara. Angkasa ingin menceritakan banyak hal, mencurahkan segala keluh kesah yang menyesakkan dadanya.

"Memangnya siapa aku? Latar belakangku saja tidak jelas."

Bintang pantas jika disandingkan dengan Bulan, mereka tampak serasi. Pilihan yang sulit baginya, jika Angkasa harus memilih siapa yang akan dia prioritaskan diantara mereka berdua. Bintang dan Bulan sama-sama orang yang berharga dalam hidupnya. Mungkin melepaskan adalah pilihan yang paling tepat.

"Aku bahkan tidak tau apakah aku bisa menepati janjiku padamu, Bintang. Sampai kapan aku harus berjuang agar Ayahku mau mengakuiku lagi?" Angkasa menghela napas panjang. Mengapa rasanya sulit sekali untuk membuat ayahnya melihat ke arahnya. Sekali saja, jika boleh sekali saja Angkasa ingin ayahnya mengakui eksistensinya sebagai anak kandung. Bahwa ada darahnya yang mengalir dalam tubuh Angkasa.

Bukan tanpa sengaja Angkasa mengambil jalur yang berbeda saat tiba di persimpangan. Dia dengan kesadaran penuh membawa motornya melewati jalan yang menuju komplek perumahan tempat tinggal Bintang. Tinggal beberapa meter lagi Angkasa sampai di depan rumah mantan kekasihnya itu.

Angkasa menatap jendela kamar Bintang yang nampak terang. Rupanya perempuan itu masih terjaga. Lantas Angkasa menghidupkan ponselnya, jam digital yang tertera pada layar menunjukkan pukul 12:58. Dia terus menatap layar ponselnya hingga angka pada jam digital itu berganti.

"Selamat ulang tahun, Bintang," Ucap pemuda itu tepat di angka 12:59 pada jamnya di layar ponsel. Satu menit terakhir sebelum hari berganti, "Ada satu bintang yang paling indah di alam semesta ini, yaitu kamu. Tetap lah bersinar karena Angkasa hanya lah ruang kosong tanpa Bintang."

Angkasa benar-benar merasa kosong setelah dia kehilangan Bintang. Tapi bukan kuasanya untuk membuat Bintang selalu ada disisinya. Pemuda itu merogoh gantungan kunci dari saku jaketnya. Ditatapnya gantungan kunci yang berbentuk karakter Rillakuma itu.

"Gantungan kunci sama boneka ya ga sebanding lah bodoh," Angkasa terkekeh merasa miris dengan dirinya sendiri. Dia memasukkan kembali gantungan kunci itu ke dalam saku jaketnya.

Angkasa yang selalu menjaga Bintang dari kejauhan ternyata sudah kalah dengan Bulan yang selalu berada di dekat Bintang. Sesaat setelah lampu kamar Bintang tampak dimatikan, Angkasa menghidupkan mesin motornya. Dia berbalik arah memacu kuda besinya untuk pulang ke rumah.

Sampai kapanpun Bintang memiliki ruang khusus dalam hidup Angkasa. Mungkin dia bisa merelakan Bintang, tapi tidak ada yang bisa menggantikan posisi Bintang di hatinya.

SEMESTA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang