🌼HAPPY READING🌼
Jangan Lupa Vote dan Komen***
"Papa suka seperti ini. Kita satu keluarga berkumpul bareng," ucap Jundan dengan tersenyum.
"Gak lengkap pa, kan kak Gabriel gak ada," balas Gadis.
Jundan hanya mengangguk. Memang benar, keluarganya hanya kurang satu, Gabriel. Gadis itu tak ada kabar akhir akhir ini. Dan katanya dia sedang skripsi an, seharusnya tak selama ini.
"Gabriel ingat pulang gak sih?" tanya Gadara pada siapa keluarganya. "Gak boleh ngomong gitu kak, dia kan adik kita juga," sahut Gavin.
Gadara hanya menghela nafasnya. Memang benar, sudah lama sekali Gabriel tidak pulang ke Indonesia. Sepertinya dia sudah sangat lekat dengan Belanda, seharusnya tidak seperti itu.
"Kita semua doain aja supaya skripsi Gabriel cepat selesai dan lulus dengan hasil yang memuaskan," ucap Yola dengan mengambil lauk untuknya.
"Amin," balas Gadis dengan cepat.
Pagi ini mereka sarapan bersama di meja yang sama. Syam, Gadara dan Kenan juga datang pagi pagi untuk ikut sarapan bersama. Mereka bertiga tinggal di rumah Amdan sejak Amdan tiada.
Sayang jika rumah itu dikosongkan begitu saja. Terlebih mereka siap tinggal di sana, jadi tidak masalah. "Kenan, di makan dong sayang. Mau mama suapin?" tanya Gadara ketika melihat Kenan hanya menatap makanannya saja.
Kenan tidak menjawab. Dia malah mengaduk aduk makannya. "Kenan sayang, makanan itu gak boleh di buat mainan. Oma suapin ya sayang," ucap Yola.
Kenan mendongakkan wajahnya. "Kenan mau disuapin sama tante Gadis," ucap Kenan membuat Gadis membulatkan matanya. "Hah, disuapin tante?" tanya Gadis terkejut dan Kenan mengangguk pelan.
"Tante gak bisa Kenan, disuapin Oma aja ya," imbuhnya. Kenan pun menggeleng dengan cepat. "Dis, udah lah kasihan Kenan. Dia mau makan cuma kalau kamu yang suapin dia," sahut Gavin dengan menatap adiknya itu.
Gadis mendengus dan mengangguk pelan. Gadis pun menyuapi Kenan yang duduk di sebelahnya. Semua orang hanya tersenyum melihatnya, terutama Syam dan Gadara.
"Gavin, gimana rumah sakit?" tanya Jundan kepada Gavin. "Baik baik aja kok pa, seperti biasanya."
"Kak Gavin bohong pa, akhir akhir ini Kak Gavin itu rajinnya pake banget. Dia bangun pagi dan berangkat pagi karena pengen temenin Bunga jalan jalan," sahut Gadis.
Gavin melotot kan matanya ke arah Gadis. Buat apa Gadis mengatakan hal itu ke Jundan. "Bener vin?" tanya Jundan. "Bener banget pa," sahut Gadis membuat ucapan yang ingin di katakan Gavin ia urungkan.
"Memang Bunga sakit apa?" tanya Jundan serius. Sebelum menjawab pertanyaan Jundan, Gavin menatap Gadis terlebih dahulu untuk memastikan kalau dia benar benar diam saat ini.
"Ada kanker di tubuh Bunga pa. Leukimia, Gavin lihat udah lumayan lama Bunga mengidap kanker tapi mereka tau seminggu yang lalu saat Bunga pingsan di sekolah," jawab Gavin.
"Kasihan Bunga vin, kamu bantu buat sembuhin dia ya," ucap Yola dan Gavin mengangguk. "Insyaallah Gavin akan bantu Bunga semaksimal yang Gavin mampu," balas Gavin dengan tersenyum.
Jundan juga terlihat mengangguk pelan. Dia tau bahwa Gavin bisa membantu Bunga. Dia dokter muda yang baik dan bisa diandalkan. Bahkan Gavin sudah menyelamatkan puluhan hingga ratusan pasien yang ia tangani. Dan Jundan yakin jika Gavin mampu menyembuhkan Bunga seperti pasien yang lain.
"Sekarang gimana keadaannya?" tanya Jundan.
"Bunga udah pulang. Semakin hari kondisinya semakin membaik, tapi Gavin suruh buat check up tiga hari sekali," jawab Gavin dengan mengunyah makanannya.
Tak ada pembicaraan lagi setelah itu, mereka semua diam dan masing masing melanjutkan makannya.
Di tempat lain, hal yang sama juga terjadi. Namun hanya dua orang saja, Fendi dan Bunga. Mereka berdua sarapan bersama pagi ini.
"Keadaan kamu gimana? Masih pusing atau gimana?" tanya Fendi kepada Bunga.
Bunga pun mendongak dan menelan makanannya untuk menjawab pertanyaan Fendi. "Udah baik baik aja pa. Nggak pusing, tapi Bunga rasain kayak cepet banget capeknya. Padahal Bunga gak lakuin apa apa," jawab Bunga.
"Itu biasa. Mama kamu dulu juga begitu. Makannya papa minta ke mama kamu supaya dia mau beraktivitas di kursi roda aja," balas Fendi dan Bunga mengangguk.
"Tapi obatnya tetep di minum ya, jangan telat makan juga," imbuhnya.
Bunga tersenyum dan mengangguk. "Iya pa, ini obatnya. Bunga selalu bawa kemana mana apa lagi yang vitamin," ucap Bunga dengan menunjukan kantong kresek yang berisikan beberapa tablet obat.
Semangat Bunga untuk sembuh sangat dikagumi oleh Fendi. Dia masih bisa tersenyum dan beraktivitas sendiri tanpa ingin di bantu oleh orang lain. Bahkan dia meminta agar Fendi tidak memberitahukan kepada siapa siapa tentang keadaan dirinya saat ini.
"Pa, besok Bunga mulai berangkat sekolah ya," ucap Bunga meminta izin. "Emang kamu udah kuat buat ke sekolah?" tanya Fendi dan Bunga tersenyum.
"Udah pa, kemarin aja Bunga udah jalan jalan kan sama temen Bunga," jawab Bunga dengan tersenyum dan Fendi mengangguk pelan. "Oh ya, apa Bunga nebeng sama Wisnu aja ya pa. Katanya dia mau sekolah di sana juga," imbuhnya.
"Ya kalau begitu papa bisa tenang. Setidaknya ada teman teman kamu yang menjaga kamu di sekolah. Tapi ingat, kalau pusing langsung ke UKS," balas Fendi.
Bunga tersenyum dan mengangguk. Dia melanjutkan sarapannya dengan tenang. Tak ada pembicaraan lagi, ruangan itu akan hening jika tak ada suara gesekan dari sendok dan piring.
Rumah besar itu sangat sepi. Hanya dua orang saja. Ingin sekali Bunga memiliki keluarga yang lengkap, tapi apakah mungkin bisa lagi. Dia hanya bisa menerima satu ibu yang melahirkannya saja.
***
Jangan Lupa Vote dan Komen
Original by Dila Nur Hikmah
Jum'at, 14 Agustus 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Fraeclarus [Terbit]
Teen FictionStart : 18 July 2020 Finish : 23 Agustus 2020 ••• "Ketika dia menjadi penyempurna Hidupku" (jangan plagiat, kalian tidak bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi penulis jika ceritanya dijiblak) ORIGINAL BY DILA NUR HIKMAH SABTU, 18 JULY 2020 [ON GO...