Chapter 11 : Investor Part 2

3.5K 462 1
                                    

'Aku senang telah mendapat investor! Empat puluh persen tidaklah buruk.'

Setelah mengirim surat di esok harinya, aku kembali berbincang dengan Elise di kamar tidur.

"Elise, apakah kau tahu dimana aku dapat mencari penhir untuk membangun cafeku?"

"Um... saya kurang tahu nona bagaimana kita kembali ke sang informan?"

"Hm, baiklah besok kita berangkat."

Paginya, aku minta izin dari marquis untuk keluar membeli gaun lagi dan kali ini sang marquis tidak menyuruhku untuk membawa pengawal yang merepotkan. Mungkin pengawalnya yang terdahulu melaporkan sikap saya di kejadian sebelumnya. Aku dan elise naik kereta kuda, membeli gaun, dan berjalan kaki sampai ke tempat sang investor.

Sang investor yang mukanya tidak asing lagi menyambut kita dan aku meminta jasanya kembali untuk mencarikanku penyihir handal untung membangun cafeku. Meletakkan 100 koin emas diatas mejanya lalu kita pergi.

Saat berjalan sekitar alun alun kota, perutku mulai bergelora.

Kuyuuuk

"Um, Elise, bisakan kau tolong belikan saya makanan apapun lalu memangil kereta kuda untuk pulang?"

"Baik nona. Kalau begitu saya pergi dulu."

5 menit, 15 menit, 25 menit, 30 menit.

'Sudah 30 menit Elise pergi kemana batang hidungnya?!'

Aku yang kelaparan dan gelisah karena Elise tak kembali, mulai bergerak dari posisiku. Aku berjalan ke sekitar alun alun dimana ada beberapa tempat duduk publik. Diluar dugaan, tempat duduknya penuh semua kecuali satu tempat duduk yang seorang pria duduki disebelahnya.

----------------------------------------------------------------------

Seorang lelaki berambut coklat dengan tudung sedang duduk di tengah alun alun kota. Mata hitamnya memandang ke tempat jauh tak hingga seperti melamun sambil menahan kebosanan.

"Anu, permisi. Apakah saya boleh duduk di tempat kosong ini?"

Tiba-tiba munculah rambut perak berkilauan. Mata merah darah yang gemerlap. Ia pikir ia telah mati lalu dijenguk oleh suatu malaikat. Ternyata, hanya seorang gadis aristokrat dengan pakaian yang cukup sederhana dibandingkan penampilannya yang amat elok dan megah. Mata hitam lelaki itu terpikat di mata gadis itu seperti terhipnotis perlahan-lahan.

Vianca yang terlihat bingung karena tidak ada respon dari lelaki tersebut kembali bertanya.

"Ahem. Pemisi, apakah saya boleh duduk di tempat kosong ini?"

"Ah, um, I-iya.", lelaki tersebut tersentak.
Matanya yang malu telah mentatap vianca telalu lama mulai memandang ke arah lain tetapi tetap saja ia mencuri-curi pandangan untuk melihat keiindahan vianca. Entah melihat rambut peraknya atau mata merahnya.

Vianca yang menyadari hal ini berpikir bahwa ia ingin memulai pembicaraan akan tetapi ia terlihat malu. Oleh karena itu, vianca mulai membuat topik pembicaraan.

"Huft hari yang panas ya... Saya tak habis berpikir kenapa seorang gadis bangsawan harus memakai gaun berat dan sepatu hak untuk ke manapun. Kakiku lama-lama bisa patah! Apalagi dengan terik matahari ini..."

Lelaki itu yang menyimak gurauan vianca tercengan mendengar kata dari seorang gadis bangsawan yang elite. Paras boleh terlihat kelas atas tetapi sikapnya lucu dan tak tertebak. Biasanya lelaki itu lelah mendengar bualan seorang gadis aristokrat, akan tetapi semua kata-kata yang dilontarkan vianca, terlihat segar dan tulus.

'Mungkin ia benar-benar lelah berjalan dengan hak tersebut.'

Lelaki itu tertawa kecil sambil menatap Vianca.

"Permisi sebentar nona."

Lelaki itu pergi meninggalkan Vianca. Vianca yang tak mau ambil pusing menikmati pemandangan alun alun kota sambil menunggu Elise.

Lalu kembali lah lelaki itu membawa suatu kotak. Ia membuka kotak itu di hadapanku dan tampaklah flat shoes putih yang sederhana tetapi terlihat elite.

"Jika nona tidak keberatan, saya dapat memberikan nona sepatu ini kepada nona agar sakit pada kaki nona tidak memburuk."

"Wah... baiklah saya sangat berterima kasih!"

"Kalau begitu bolehkah saya membantu nona memasangkan sepatunya?"

Vianca menganguk dengan senyuman

'Hm... baik sekali ada orang yang khawatir karena kaki ku yang memerah."

Lelaki itu berlutut dihadapan Vianca dan memulai melepaskan sepatu haknya. Ia mengambil plester dari kantongnya dan menutupi bagian merah di kaki Vianca.

'Wah, ia bahkan telah menyiapkan plester.'

Muka lelaki yang tersipu merah itu mengambil sepatu di kotak dan memakaikan ke kaki Vianca dengan lemah lembut.

'Sentuhannya lembut sekali...'

Tanpa pengetahuan Vianca, lelaki tersebut telah berlari-lari ke toko sepatu termewah yang ia dapat cari, langsung membelinya dan kembali secepat mungkin. Vianca juga tidak mengetahuinya bahwa jantung lelaki ini bedetak kencang entah karena pasca berlari atau karena mendapat kesempatan untuk membantu seseorang yang terasa seperti takdir baginya.

"Nonaaa!!"

Teriakan Elise merusak suasana manis ini. Vianca berdiri sekejap dan menoleh ke arah suara Elise dari kejauhan.

"Um, terima kasih atas kebaikan anda. Sekarang saya harus pergi. Saya pamit dulu ya, Putra Mahkota."

Jeng jeng jeng

Seperti petir dia siang bolong, badannya membeku mendegar dua kata tersebut.

'B-ba-bagaimana ia bisa mengetahui aku adalah Putra Mahkota?! Apakah durasi sihir perubah wujudku sudah habis? Bukankah lima jam durasinya?'

Plop

Vianca yang berlari ke arah Elise sambil menenteng sepatu hak, menjatuhkan sapu tangannya.

"Ah, nona anda menjatuhkan sapu tangan and-"

Mawar perak. Tanda keluarga Marquis Alteria.

'Apakah itu Yvonna Alteria? Akan tetapi seorang Yvonna Alteria tak mungkin ingin duduk di alun alun kota secara sembarangan. Artinya apakah itu anak bungsu Marquis Alteria?'

The Villainess Did a RevolutionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang