Chapter 31 : Identitas

2.1K 232 9
                                    

Aku berjalan menuju kamarku dan berdiri di hadapan Yvonna, menyilangkan tanganku dan menatap Yvonna dengan mata malas. Berbeda dengan mata malasku. Ia menatapku dengan mata benci.

'Aku tahu jelas sebenarnya semua hal yang ia tegurku hanya sebatas alasan untuk mengeluarkan amarahnya.'

"VIANCA ALTERIA, KENAPA KAMU MELAWAN KAKAK TERUS MENERUS? KENAPA KAMU PULANG SELALU SETELAH MATAHARI TERBENAM? APA YANG TERJADI KALAU TERJADI SESUATU YANG TIDAK DIINGINKAN?"

Kalimat kosong dengan nada keras. Itulah yang selalu diucapkan Yvonna. Kadang aku berpikir apa masalah utama Yvonna mengeluarkan amarah dan unek-uneknya kepada Vianca.

Setelah kalimat ke kalimat ocehan kosong itu, meledaklah Yvonna. Bukan amarah lagi yang keluar tetapi, air mata. Kata-katanya pun mulai berjalan ke arah lain.

"KENAPA? KENAPA KAMU SELALU LEBIH HEBAT DARIPADA AKU? KENAPA KAMU SELALU MENDAPAT PERHATIAN SANG MARQUIS? KENAPA AKU TIDAK DAPAT MENJADI DIRIMU SEPEREMPATNYA SAJA SETIDAKNYA?"

Awalnya aku kesal mendengar ocehan tidak jelasnya tapi lama kelamaan, aku mulai merasa bingung dengan ocehannya yang diulang-ulang. Sampai akhirnya sekarang, bukan lagi rasa kesal yang kurasakan.

Aku mengangkat tanganku dan memeluk Yvonna yang kanget mendapatkan dirinya di pelukanku.

Empati. Itulah sekarang yang kurasakan.

Saat aku ditelantarkan orangtuaku di dunia asliku. Aku memang bersikap kuat dan siap untuk menjadi orang sukses sebagai balas dendamku terhadap mereka. Akan tetapi, rasa irihati tidak bisa dihindari. Aku merasa iri mereka yang punya segalanya.

Orang tua yang memberinya kasih sayang, uang yang cukup untuk menghidupkan keluarganya, tawa duka yang di ceritakan bersama. Aku yang iri hanya cemberut kemudian menelan cemberut itu dengan kerja keras.

Mungkin itu caraku untuk mengatasi rasa irihati. Tetapi setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mengatasinya. Aku ingat jelas bahwa Leira, sahabatku dulu, mulai bertemanan denganlu karena ia yang sangat irihati kepadaku. Ia marah dan meledak dihadapanku hingga ia mengeluarkan diri sebenarnya yang rapuh.

Setelah mendengar kalimat menyedihkan Yvonna, tidak heran aku langsung memeluknya. Bukan hanya karena kondisi Yvonna sekarang mirip dengan sahabatku, Leira, tetapi karena aku sendiri pun pernah mengalami bertapa menyedihkannya rasa irihati.

"A-APA YANG KAMU LAKUKAN? LEPASKAN AK-"

"Tidak apa-apa kak. Tidak apa-apa untuk marah. Marahlah semaumu."

Mendengar kata-kataku yang sangat berbeda membuat tangisannya semakin deras.

"Aku tidak mau dibuang, aku tidak mau tinggal di jalan tidak punya uang untuk makan minum. Aku hanya ingin hidup bebas. Aku hanya ingin hidup seperti putri bangsawan yang normal. Tidak perlu bermewah seperti puti bangsawan, bahkan wanita masyarakat awam pun tidak apa apa. Aku hanya ingin hidup normal."

Aku membuka pintu kamarku dan mengajak Yvonna masuk.

Aku melihat Elise yang di depan pintu kamarku dan menyuruhnya untuk membuatkan dua set teh hangat dan kue kering.

Aku mempersilahkan Yvonna duduk di sofa dan memberikannya selimut karena Yvonna menggunakan pakain tidur yang tipis. Yvonna hanya terdiam menangis di depan ku. Tidak lama kemudian, Elise datang membawa dua set teh hangat dan biskuit-biskuit. Ia meletakkannya diatas meja dan meninggalkan ruangan.

Aku mengankat tekonya dan menuangkan teh untuk kita berdua.

"Silahkan diminum, mumpung masih hangat."

The Villainess Did a RevolutionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang