Chapter 27 : Pengakuan

2.3K 243 7
                                    

Selama berhari-hari Aenon tidak bertemu Vianca. Hatinya dilema.

Jika ia melanggar pertauran sang ratu untuk tidak bertemu dengan perempuan lain kecuali Sheila, Haknya sebagai Putra Mahkota penerus Kerajaan Aephraisa akan dicabut. Tetapi hatinya sekarang sangat menderita. Ia ingin melihat kembali senyumnya. Jika bersama dengannya, dirinya menjadi tenang dan nyaman. Persaan yang jauh berbeda dari tahun ke tahun ia menjadi Putra Mahkota.

Sekarang Aenon yg di meja kerjanya dengan kertas berjejer di mejanya, menulis surat penting kepada keluarga Duke.

[Saya, Aenon von Dravidus, Putra Mahkota Kerajaan Aephraisa menyetujui-]

Sambil menulis kalimat tersebut terlintaslah suatu pikiran bersama hati gelisahnya.

'Seandainya aku bisa membatalkan tunangan dengan Sheila Heinous, aku bisa langsung mengajukan pertunangan kepada Vianca...'

[-menyetujui untuk menikah bersama Vianca Alteria-]

Tangannya bergerak sendiri sesuai alam bawah sadarnya. Di sebelahnya berdirilah Evan yang khawatir dengan keadaan tuannya.

"Um, maaf menggangu Putra Mahkota. Tulisan yang anda tulis sepertinya ada keliruan."

Aenon yang tersentak mendegar perkataan Evan meletakkan penanya, mengangkat kertasnya lalu membacanya ulang.

"Aah... Te-terima kasih Evan..."

Ia meletakkan kembali kertasnya lalu menundukkan kepalanya seperti orang depresi.

'Sialan! Kenapa pekerjaanku jadi terganggu seperti ini!'

"Tuan, apabila ada yang ingin anda ceritakan atau tanyakan, saya dapat membantu anda sepenuhnya."

Evan yang tersenyum disebelah Aenon memberikan uluran tangan.

Memang betul Aenon menyibukkan diri dengan tugasnya sebagai Putra Mahkota agar dapat melupakan Vianca, akan tetapi rencana simpelnya tidak berjalan dengan mulus.

Saat tidur ia terkadang memimpikan Vianca, saat makan kadang ia juga melamun tentang makan bersama dengan Vianca. Tetapi biasanya ia tidak memikirkannya saat bekerja dengan dokumen-dokumen penting.

Pengecualin untuk beberapa hari belakangan ini, rencananya untuk meyibukkan diri sudah gagal total. Saat menulis surat penting pun otaknya sudah berkeliaran.

Aenon yang sadar akan kekacauannya mulai menganggap perasaannya sebagai masalah serius.

"Baiklah Evan, saya butuh pendapat anda."

"Iya Tuan? Ada yang bisa saya bantu?"

"Apabila ada seseorang yang terus menerus ada di benakku, bahkan sampai terbawa mimpi, apa maksud dari fenomena aneh ini?"

"Hmm, mungkin anda khawatir dengan seseorang tersebut? Atau mungkin juga ada merasa rindu dengan seseirang tersebut."

'Khawatir? Rindu?'

Dua perasaan yang tidak pernah sekalipun terlintas di hatinya tidak mungkin dapat muncul begitu saja.

Sejak masa lalu tragisnya, segala emosi dan perasaan dapat di kontrol dengannya. Dengan jelas ia membuang perasaan khawaitr, rindu, serta kasih sayang, karena perasaan tersbut hanya membuatnya semakin lemah. Di sisi lain, persaan iri dan amarah pun tidak ia tunjukkan secara jelas.

Akan tetapi keadaan sekarang sangat berbeda. Emosi dan perasaannya lepas dari tangannya.

"Hm, kalau seseorang tersebut bersama dengan orang lain dan perasaanku seketika kesal dan hatiku nyeri, apa maksudnya?"

The Villainess Did a RevolutionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang