Chapter 9 : Cafe part 4

3.8K 431 23
                                    

Tok tok tok

Lelaki berambut hijau tua dengan topeng abu-abu memasuki sebuah ruang kerja yang amat megah. Matahari sore dari jendela besar menyinari seluruh ruangan. Seorang lelaki berambut hitam pekat bagai malah hari serta wajah yang diukir serupawan mungkin oleh para dewa kecantikan, duduk di belakang meja kerja dengan tumpukan kertas. Disampingnya ada beberapa pengawal dengan seragam biru.

"Permisi, Putra Mahkota."

"Iya, silahkan masuk. Ada apa?"

Ia melepas topengnya dan terlihat mata kuning bagai emas.

"Saya ingin memberikan jadwal anda hari ini. Apakah anda ingin teh atau kopi?"

Pria muda berambut hitam ini melirik kepada kedua pengawalnya. Kedua pengawalnya berjalan keluar meninggalkan ruangan dan tersisa mereka berdua.

"Baiklah, apa yang anda perlu lapor?" Tanya pria rambut hitam.

"Untuk hari ini, tidak ada informasi penting, akan tetapi ada sebuah informasi aneh."

"Katakanlah."

"Vianca Alteria, anak bungsu marquis Alteria yang dirumorkan sebagai 'Boneka Porselen milik Yvonna Alteria' telah bergerak dengan sendirinya."

"Maksudnya?"

"Ah! Maafkan saya yang terlalu subjektif. Maksud saya, Vianca Alteria sedang mencari investor untuk membangun suatu cafe."

"Cafe... Hmm..."

Pria berambut hijau yang gugup setelah mengeluarkan sebuah informasi yang terdengar mustahil menggetarkan tangannya yang diumpatkan dibelakang tubuhnya. Dibandingkan dengan pria berambut hitam ini, ia tersenyum dengan raut wajah penasaran.

"Menarik. Baiklah saya akan menjadi investornya."

Wajah pria berambut hijau memucat.

"Pu-Putra Mahkota! Apakah anda serius? Vianca Alteria hanya seorang remaja perempuan! Ia tidak mungkin mengetahui cara membuat cafe! Selain itu Vianca Alteria dirumorkan sebagai anak di luar ni--"

"Berhenti berbicara Evangelos Alexeas!"

Evangelos Alexeas, nama pria berambut hijau ini tergaung di udara. Evan tahu jelas, jika sang Putra Mahkota melontarkan nama panjangnya, artinya ia serius.

"Hilangkan kebiasaan anda menilai seseorang dari sebuah rumor! Huft..."

Sang Putra Mahkota mengmbil selembar kertas. Menulis panjang lalu menandatangani kertas tersebut.

"Ini, ambilah sejumlah uang dari kepala pelayang melalui surat ini, lalu kirimlah uang ini serta surat ini ke kediaman Nona Vianca."

Evan mengambil suratnya dan meninggalkan ruangan.

Sang Putra Mahkota, dengan bola mata ungunya yang bersinar seperti amethyst, melirik keluar jendela sambil berpikir.

'Kenapa ya aku dengan spontan ingin menjadi investor manusia kecil itu. Mungkin instingku bekerja melebihi yang kupikirkan."

--------------------------------------------------------------

Aku dan Elise keluar dari rumah aneh itu lalu berjalan keluar gang. Tiba-tiba ada suara serta tangan yang mengaitkanku kebelakang.

"Wah ada adik kecil yang tersesat. Kamu mau kemana, dik? Sini, biar kakak menemanimu!"

Aku meboleh ke belakang dan melihat tiga pria dewasa menatapku. Melihat mereka yang menatapku seperti kelinci tak berdaya membuatku kesal. Aku menggertakan gigiku dan berkata,

"Baiklah tunjukkan arah untuk adik ini yang tersesat. Tetapi, pertama-tama-"

Brak!

Seketika tubuh pria tersebut terbanting. Tanganku yang gesit langsung menangkap tangan pria kedua dan membantingnya lagi. Pria yang ketiga kaget tetapi ia siap siaga. Ia mundur beberapa langakah lalu lari ke hadapanku.

Syut!

Tanpa sangka, ia mengeluarkan pisau kecil. Aku menghindarinya dengan cepat dan mencekik tangannya.

Arkh!

Pisaunya terjatuh dan ku tendang jauh-jauh. Seperti biasa, ku lempar pria ketiga ini dengan mudah. Dari kejauhan terdengan suara orang kaget. Aku melirik ke arah suara tersebut dan menemukan dua prajurit yang menguntitku. Prajurit tersebut memakai bros keluarga milik Marquis Alteria.

'Hm... tak diduga ayahku perhatian terhadap anak bungsu ini.'

Prajurit tersebut kembali menghilang dan aku menoleh ke Elise. Elise kagum melihat diriku yang lincah.

"Sejak kapan nona belajar seni bela diri?"

"Eh?? Ah, sejak aku bermimpi menajdi atlet bela diri?" Jawabanku terdengar sangat mustahil...

Elise yang mengiyakan jawabanku menarik tanganku dan berlari keluar gang. Kita berjalan beberapa blok lalu Elise memangil kereta kuda. Kita kembali ke rumah dengan selamat.

Malam hari telah tiba dan perjamuan makan malam segera dimulai. Aku bersiap-siap serta mengganti gaunku lalu berjalan menuju ruang makan. Saat aku membuka pintu ruang makan yang besar, dari belakang, terdengar suara sepatu hak dan sepatu pantofel.

Tak tak tak.

Yvonna Alteria serta Ragrand Heinous tampak di depan mataku.

"Ah adik kecilku! Ayo cepat masuk ke ruang makan! Apa yang kamu lakukan di depan pintu? Ayah dan ibu pasti sudah menunggu lama!"

Muka hinaan Yvonna tidak pernah berubah.

'Cih. Dasar binatang cerewet!'

Aku membuka pintunya dan makan malam dimulai.

"Yvonna, anak sulungku, kapan kau resmi bertunagan dengan Tuan Muda Ragrand?"

"Ah ayah terburu-buru sekali! Tunggu aku mengadakan upacara menyambut kedewasaanku!"

"Hooh begtiu, apa anda tidak keberatan Tuan Muda?"

"Ah tidak, saya akan menunggu dengan sabar Tuan Marquis."
Ragrand menjawab dengan senyuman hangatnya.

"Saya malah merasa penasaran karena Nona Vianca sudah bertumbuh dengan cepat."

"Ah iya tentu, saya juga merasakannya."
Sang marquis yang setuju dengan perkatan Ragrand tersenyum gembira. Sedangkan Yvonna dan Istri Sang Marquis mengerutkan wajahnya sambil melahap ayam panggang. Percakapan antar kedua lelaki ini terus berlajut dan atmosfir ruangan ini terbelah menjadi dua. Ada yang gembira dan ada yang sinis. Aku yang tidak peduli lama kelamaan merasa terbebani dengan lirikan ganas kedua perempuan ini.

Srek...

"Permisi, saya izin meninggalkan meja makan terlebih dahulu dikarenakan lelah setelah berjalan keluar."

Aku berdiri dan meninggalkan ruang makan. Aku tidak peduli muka apa yang mereka tunjukkan padaku. Aku hanya ingin makan malam degan tenang tetapi makan malamku jelas terangganggu. Sesampai di kamaru aku menganti gaunku menjadi gaun tidur lalu memanggil Elise.

"Elise tolong bawakan dua piring dan ambillah dua potong ayam panggan dari dapur."

"Eh, dua? Baiklah Nona..."

Elise kembali dengan dua piring berisi sepotong ayam panggang di tiap piring.

"Mari kita makan bersama Elise."

"Ah Nona! Anda tidak boleh makan bersama pelayan rendahan seperti hamba!"

"Aaaaah. Apaan sih Elise! Duduk sini, ayo kita nikmati ayam panggan ini!"

"Huft. Baiklah Nona."

Sinar bulan di malam hari berseri-seri di kamarku. Makan malam bersama Elise sambil membicarakan ayam panggan yang lezat ini jauh lebih baik daripada makan keluarga yang tegang.

The Villainess Did a RevolutionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang