Rachel
Rachel berdiri memandang pusaran danau dari balik balkon. Yang tampak jelas di matanya saat ini hanyalah gumpalan embun yang begitu mendominasi. Ia menghela napas panjang lalu menghirup udara desa yang menyejukkan, di tambah lagi kicauan burung di pinggir danau betul-betul membuat Rachel merasakan kedamaian yang tidak ada duanya saat ia di kota.
Rachel telah memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di mana ada Papa dan juga adik perempuannya. Ia merindukan dua orang itu. Namun tak bisa dipungkiri ternyata Rachel ingin meminta waktu untuk menyendiri tanpa adanya Jimin dan Alea di sisinya. Ia percaya bahwa apa yang terjadi hanyalah kesalahpahaman antar ruang dan waktu. Tak ada yang salah diantara mereka. Rachel hanya berusaha membalikkan keadaan seperti sedia kala dengan menghilangkan dirinya untuk sementara waktu.
Menurut kalian apa yang Rachel lakuin udah bener?
Rachel berbalik dan berjalan mengambil jepitan rambut dan meletakkannya di beberapa tumpukan rambutnya. Ia berkaca di hadapan cermin dengan pantulan yang kelihatan sudah jauh lebih baik. Rachel pun memutuskan keluar dan telah mendapati adiknya tengah berkutat di dapur. Oh ya, namanya Esther-pelajar di tahun ke dua yang tengah menghabisi liburan musim panasnya di vila pedesaan miliknya termasuk juga milik Rachel. Esther dapatkan dikatakan beda dengan Rachel karena ia lebih mengutamakan pendidiknya dibandingkan kebebasan, terbukti gadis itu telah mempunyai impian untuk melanjutkan perguruan tingginya setelah lulus nanti.
"Mau kubantu?" tawar Rachel seraya menyeruput cokelat panas yang ia yakini adalah milik Esther.
"Tidak perlu," tolak Esther. Bukan karena dia tidak suka dengan Rachel, hanya saja ia tak Ingin merepotkan siapa saja yang selalu berniat ingin membantunya. Karakternya memang benar-benar mirip dengan mendiang Elena.
"Dimana Jonathan?" Rachel menelusuri setiap putaran kepalanya dan tidak menemukan seseorang yang dia cari.
"Dia pergi ke desa seberang. Entah ingin melakukan apa." Esther mengambil piring kaca di dalam lemari dan meletakkan sandwich di dalamnya seraya mengambil rumput laut yang telah dihancurkan dan meletakkannya di atas sandwich. "Kau berminat?" tanya Esther menunjukkan bibirnya ke piring.
Rachel menggeleng. "Perutku tidak akan sanggup menerima sarapan pagi seperti itu."
"Seleramu memang selera Jonathan," ujar Esther manggut-manggut seraya membawa piring sandwich di atas meja dan langsung menyantapnya.
"Bukan berarti aku menjiplak seleranya. Well, ini hanya keterbiasaan yang diturunkan olehnya." Rachel terkekeh mendengar ucapannya.
"Bagaimana dengan Kak Jimin?"
Raut wajah Rachel spontan berubah tak suka. "Kupikir kita hanya membahas Jonathan."
Ester menaikkan sebelah alisnya. "Oh ayolah, pasti ada yang tidak beres dengan kalian berdua." Walau faktanya Esther tengah meledek namun orang yang baru mengenalnya pasti tidak akan tau jika ia tengah bergurau dengan wajah yang teramat datar.
"Kau jangan sok tau. Stop mengurusi hidupku."
"Hei, kau kenapa marah padaku? Astaga kita baru saja bertemu dan kau ingin mencoba menciptakan pertengkaran denganku."
Rachel menyipitkan matanya menatap Esther. "Ternyata kau sudah dewasa," pungkasnya seraya melangkahkan kakinya ke danau. Apa yang ia katakan pada Esther hanyalah sebuah kebohongan. Ia hanya tidak ingin bertindak lebih jauh untuk gadis yang baru beranjak remaja. Rachel pikir jiwa di usia Esther belumlah stabil untuk menempatkan amarah dengan benar.
Rachel berjalan dan ternyata embun yang ia lihat dari dekat sungguh bukanlah hal yang menjengkelkan ketika mengetahui sesuatu akan tertutup karenanya. Ya, Rachel sekarang lebih bisa melihat dengan jelas pemandangan di sekitarnya. Rachel bahkan sempat terkekeh ketika burung di dekatnya menolak untuk duduk bersamanya.
Rachel duduk bersilak dan mengambil beberapa batu di dekatnya seraya melemparkannya ke danau. Dan aksi itu semakin membuat hidupnya luar biasa lebih baik ketimbang yang sudah-sudah.
"Aku merindukan kalian. Tapi aku butuh waktu untuk sendiri," gumam Rachel tersenyum dengan lekuk wajah yang indah. Menurutnya apa yang telah ia lakukan untuk datang ke Villa adalah sesuatu jalan kebenaran. Bahkan untuk lepas dari hiruk pikuk kota gadis itu pun sampai mematikan handphonenya dan menyemayamkannya di dalam koper untuk menghindari orang-orang di kota yang tentunya akan menghubungi bahkan memberikan ribuan pesan padanya.
"Hei! Apa yang kau lakukan my lady?" Jonathan datang dengan mengenakan topi koboi cokelat pudarnya.
"Dad, kau dari mana saja?" Senyum Rachel menyebar luas ketika melihat Jonathan datang dan duduk di sampingnya.
"Bermain kuda dengan William, setiap paginya bahkan jika kau dan Esther tidak ada Dad bisa memakan waktu berminggu-minggu di desa tetangga." Jonathan menatap danau sambil melemparkan batu dengan lemparan yang cukup jauh.
Rachel tersenyum malu. "Dan aku tak akan pernah bisa melempar batuku dengan jarak jauh."
Jonathan spontan tertawa. "Kau hanya perlu belajar untuk mengalahkan Dad."
"Sayangnya aku tak akan bisa menang," balas Rachel dan langsung tertawa renyah bersama Jonathan.
"Bagaimana kehidupanmu di sana?"
Rachel mencebikkan bibirnya. "Tidak jauh lebih baik dibandingkan di sini."
"Really? Lantas bagaimana dengan Jimin, apa dia tidak jauh lebih baik dari Daddy mu ini?" ledek Jonathan memperhatikan wajah Rachel yang langsung cemberut.
"Ayolah Dad, jangan menyeret Jimin."
"Ya, ya, Dad pikir kau akan membawanya serta. Padahal Dad sangat menantikan bermain golf bersamanya."
Rachel memutar malas matanya. Menurut Rachel tidak Esther, tidak Jonathan, mereka sama saja.
"Apakah Jimin baik terhadapmu?"
"Em." Rachel mengangguk namun sudah tak mengambil pusing jika Jonathan menyukai pembahasannya.
"Dan... Apa kau sudah melakukannya?" Jonathan kali ini berujar dengan pelan.
"Maksud Dad?" Rachel mengerutkan dahinya dengan tatapan bingung.
"Ya... Kau sudah menyerahkan kesucianmu padanya."
"Oh my God, Dad!" Rachel sedikit terkejut dengan ucapan Jonathan. "You know Dad, aku sangat tidak suka jika kehidupan pribadiku di ganggu."
"No, no, tidak seperti itu Honey. Dad hanya menyarankan pernikahanmu nanti berjalan normal. Ya... Jimin harus memakai pengaman untuk saat ini."
"Dad!" Rachel tak mampu berkata-kata. Antara ingin ketawa dan malu bibirnya seakan tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Baiklah, baiklah, Dad akan meninggalkanmu." Jonathan bangkit dari duduknya dengan ke dua tangan yang layaknya tengah menyerah pada polisi dan memasuki Villa sesekali menoleh pada putrinya dengan tersenyum lebar.
"Oh Tuhan." Rachel mengipas-ngipas wajahnya. Ia merasa wajahnya ingin melepuh karena memanas. Ia pun tidak habis pikir mengapa Jonathan membahas sesuatu yang tidak ingin ia dengarkan. Jujur, Rachel hanya malu membahas sesuatu yang vulgar dihadapan pria itu.
🙏🙏🙏
*Hargai penulis
Percayalah, vote itu gratis

KAMU SEDANG MEMBACA
MY LOVER THE SERIES
RomanceMelalui kisah Audrey, Alea, Maddie, Stella dan Rachel, kita akan diajak memahami bagaimana rumitnya menemukan batas cinta yang sesungguhnya. Cinta yang menampung pengharapan dan begitu pulalah sulitnya cinta berikan kepastian. Akankah ke lima gadis...