Chapter 3

29 10 4
                                    

Maddie

"Kau sungguh tidak beres."

Selepas mengucapkan kata itu Namjoon dengan segera memeluk tubuh Maddie dari belakang sambil mengecup bahu gadis itu. "Kumohon kau jangan marah."

"Aku pasti akan marah! Semua gadis juga tidak akan mau jika kekasihnya berkelahi. Tolong pikirkan lah wajahmu jika nantinya akan babak belur."

Namjoon melepas rengkuhannya dan sedikit menjaga jarak. Bibirnya tersenyum simpul memandang Maddie yang kini berbalik mengerutkan dahinya.

"Yeah, jika wajahku hancur dan menjadi mengerikan kau pasti akan mencari pria baru dan memutuskanku. Maddie, Maddie, Kau memang gampang ditebak," singgung Namjoon menyeringai.

Maddie langsung saja bangkit dengan dada yang naik turun. Napasnya menggebu dengan pinggiran mata yang memerah. "Terus saja berdefinisi. Kau sangat menjengkelkan," pungkas Maddie berang sembari berjalan ke kasur mengambil tasnya dan memutuskan pergi dari kamar Namjoon.

Maddie menuruni anak tangga hingga ia tiba di lantai pertama. Kakinya terus melangkah mengambil arah kiri sambil memastikan papan nomor yang bergantung di depan pintu kamar.

97– nomor kamar yang sudah begitu dekat dari Maddie. Kamar itu tampak terbuka sedikit, membuat Maddie bersyukur karena tak perlu bersusah payah mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Mad," seorang gadis menyapa dengan rambut yang hampir mengering meski masih menyisakan beberapa tetesan. Sepertinya ia baru selesai mandi.

Maddie memasuki kamar bernuansa elegan dengan sentuhan cat putih yang berkolabirasi dengan sentuhan warna gold. Kemudian gadis itu duduk di tepi kasur sembari meletakkan tasnya di samping.

"Bertengkar lagi?"

"Yeah," jawab Maddie dengan wajah tak bersemangat.

Audrey melangkahkan kakinya mendekati Maddie. "Aku sudah pernah mengantisipasi dari awal kalau Namjoon tidak lebih baik untukmu. And end... ucapanku terbukti," ujar Audrey dengan kata lain mengapok gadis di sampingnya. "Kau memang keras kepala."

Maddie spontan saja berujar dalam hati ketika mendengar ucapan terakhir Audrey. 'Kau lebih-lebih keras kepala, Drey.'

"Pria itu tawuran lagi?"

Maddie mengangguk.

Audrey langsung terkekeh. Baginya pertengkaran Maddie dan kekasihnya tak pernah keluar dari tebakannya. Konyol. "Si maniak berkelahi. Oh, kurasa masa sekolahnya dulu tidak berjalan mulus. Kasihan sekali," ledek Audrey diikuti tawanya.

"Kurasa begitu. Ya Tuhan, aku sudah teramat lelah memaksanya untuk berhenti. Tapi kepala Namjoon memang lebih keras dari batu."

Beberapa detik setelahnya Maddie pun menoleh pada Audrey dengan pertanyaan yang ia ingin tanyakan sedari kemarin namun selalu gagal karena Namjoon. Beruntung pertengkaran mereka membuatnya bisa bertindak sesuka hati. "Apa Hoseok sudah tau kau di sini?"

"Yeah." Audrey bangkit dan duduk di meja rias. Tangannya meraih sisir di sana yang sedikit menyisakan rambut rontok Stella. Ia memisahkannya dan menaruh rambut cokelat tua itu di tong sampah.

"Apa dia marah?"

"Mana mungkin Hoseok tak marah. Well, dia tak pernah memukuliku," sahut Audrey yang tadinya ingin marah namun tak jadi karena ia telah memilih kalimat terakhir yang cocok untuk meredakan amarahnya.

"Mustahil. Dia menyayangimu."

Audrey memandang Maddie jijik—tapi bukan karena tampilannya yang sedikit aneh dengan sentuhan merah di pipinya layaknya habis di tampar, melainkan dua kata yang gadis itu keluarkan dari mulutnya. "Oh ayolah, dia bukanlah Kakak yang seperti itu."

"Hei, marah itu tandanya sayang."

Audrey menyemburkan tawanya sambil mengusap sedikit air mata yang muncul dari pinggiran matanya. "Itu tidak sinkron, Mad. Jika bagimu marah adalah sayang, berarti marahnya pengemudi yang nyaris menabrak orang yang menyeberang karena tak hati-hati juga artinya sayang, meskipun tak kenal? Ya Tuhan Mad..." Audrey menghentikan ucapannya dan melanjutkan tawanya.

"Tentu saja saja, karena pengemudi menyayangi nyawa penyeberang Drey."

"Sadar lah Mad. Itu karena si pengemudi tidak ingin berdiam di sel." Audrey yang tak ingin kalah jika berargumen pun kembali tertawa.

Maddie memutar bola matanya. " Yeah kau menang," pungkasnya mengalah. Ia tau bahwa perdebatan kecil mereka tak akan ada habisnya jika menunggu Audrey yang mengalah.

"Aku menang? Kupikir kita sedang tidak bertanding." Audrey dengan nada mengejek bangkit dari kursinya setelah selesai menata rambut pendeknya.

Maddie tak menggubris dan memilih membahas hal lain. "Stella kemana?"

"Kalau sudah sore dia pasti akan ke perpustakaan kota. Kau tau kan? Cafe di depan perpus menyediakan tiramisu yang tak ada duanya."

Maddie menatap Audrey dengan alis yang naik sebelah. "Sahabatmu itu ke perpustakaan atau Cafe?

"Em... Stella akan ke Cafe setelah dua puluh menit berada di perpus. Well, ia pergi ke dua tempat," terang Audrey tanpa bersusah payah mengingat rutinitas Stella yang sudah menyatu di kehidupannya.

Maddie hanya membulatkan mulutnya seraya bangkit dan menarik tasnya. "Aku akan pergi."

"Menemui Namjoon?"

Maddie mengangguk sekali.

Audrey memonyongkan bibirnya. Dalam hati ia mengatakan bahwa Maddie tak akan bisa hidup tanpa Namjoon. Baginya cinta memang bisa membutakan mata dan hati seseorang.

"Bye," pamit Maddie tanpa menunggu sepatah kata dari Audrey. Melihat gelagat Audrey memandangnya lah gadis itu tau bahwa Audrey merendahkannya. Tapi memang betul, Maddie sendiri pun berpikir bahwa dirinya terlalu bodoh jika berurusan dengan pria.

Maddie melangkahkan kakinya keluar seraya menaiki lantai empat. Ia pun memasuki kamar Namjoon yang memperlihatkan kekasihnya sedang terbaring di kasur tanpa mengenakan baju. Kakinya melangkah untuk mendekat dan berbaring di samping pria itu sembari menyelundupkan kepalanya di bawah ketiak Namjoon serta memeluknya.

Namjoon menggeliat dan sudah melihat Maddie tersenyum bahagia di sampingnya. Dengan pergerakan cepat pria itu mengecup singkat bibir Maddie sembari menarik tubuh gadis itu agar semakin merapat dengannya. "Tidurlah, kau pasti lelah," ujar Namjoon setengah berbisik dan kembali mengecup bibir Maddie lagi.

Maddie menuruti saja apa kata Namjoon. Tapi tubuhnya memang lelah dan kantuk pun sudah menyerang ke dua matanya saat setelah ia memutuskan berbaring. Ia memejamkan mata dan samar-samar kegelapan pun telah menyelimutinya.

Namjoon tersenyum hingga memunculkan lesung pipitnya setelah melihat kekasihnya tertidur degan nyenyak. Lagi dan lagi ia kembali mengecup bibir Maddie, lalu mempererat pelukannya dan ikut memejamkan mata hingga akhirnya ia pun menyusul Maddie.

Tidak ada yang sulit bagi Maddie. Ia memang kerap bertengkar dengan Namjoon, namun arti pertengkaran baginya sama halnya seperti kuku yang panjang lalu akhirnya di potong. Semuanya akan baik-baik saja seperti tak pernah terjadi apa-apa ketika Maddie yang lebih dulu memutuskan mengalah. Ia juga bersyukur memiliki Namjoon yang tak pernah berlarut-larut memikirkan amarahnya.


🙏🙏🙏

*Hargai penulis
Percayalah, vote itu gratis

MY LOVER THE SERIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang