23 | Di bawah langit mendung

45 12 0
                                    

Di bawah langit mendung yang kian menggelap, Seano menyaksikan bagaimana Alya menangis dan tertawa dalam waktu bersamaan. Seano masih tetap ditempat sebelumnya, ia baru beranjak ketika Alya berjalan ke sisi parkiran dan duduk di bangku reyot yang sengaja diletakan di sana.

Dari belakang dapat Seano lihat kalau bahu Alya tidak nampak bergetar, walau sebenarnya hal itu sama sekali tidak menjamin Alya sudah tidak menangis lagi. Alya termasuk tipe orang yang menangis dalam diam, tanpa bahu bergetar dan juga tanpa isakan.

"Kalau gak mau itu nolak."

Seano terkekeh karena Alya yang nampak kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

"Ihh, kenapa?!"

Bukannya takut karena Alya mengaktifkan mode maungnya, Seano justru tertawa hingga kedua pipinya menampilkan lubang yang membuat Alya sedikit terpesona. Sedikit saja kok, tidak banyak.

"Kenapa? Kaget?"

"Gak." Alya bermaksud beranjak, tapi tangan Seano lebih dulu menarik tangan kirinya hingga ia kembali terduduk. Alya bersyukur Seano tidak menarik pergelangan tangannya melainkan telapak tangannya.

Seano tidak langsung melepaskan tangan kiri Alya, ia justru menempatkan tangan kiri Alya dengan posisi menghadap atas di pangkuannya. Otomatis luka gores pada pergelangan tangan Alya terpampang jelas.

Alya mencoba menarik tangan kirinya sedetik setelah lukanya terpampang, tapi usahanya lagi-lagi gagal karena dengan tidak punya hati Seano menekan luka Alya lumayan keras.

"Aduh! Sakit!" Sebagai balasan, Alya meninju lengan kanan Seano.

Untuk ketiga kalinya Seano terkekeh. "Maaf. Sini."

Seano kembali menempatkan tangan kiri Alya dipangkuannya setelah sempat berpindah posisi karena Alya berjengit kesakitan, kemudian merogoh saku bajunya dan mengeluarkan plester luka bergambar disney yang tadi pagi ia curi dari salah satu laci di kamar Alisha.

Setelah Seano mengeluarkan plesternya, Alya sontak tergelak. "Gak keren banget plesternya gambar princess."

"Gak penting gambarnya, yang penting—"

Hampir saja.

Seano diam, ia tidak melanjutkan kalimatnya dan memilih fokus memasangkan plester pada luka Alya, ya walaupun lukanya tidak sepenuhnya tertutup karena plesternya kurang panjang.

Sementara Alya, kini sedang mengernyit penasaran dengan kalimat lanjutan Seano. "Yang penting...?"

Seano tidak menoleh, ia hanya berdehem. "Hmm?"

"Tadi lo mau ngomong apa? Yang penting apa?"

Sejenak Seano diam. Pertempuran terjadi di otaknya sekarang, Seano bingung.

"Apaan, Seano???" Disamping itu Alya terus mendesak agar pertanyaannya di jawab.

"Em—Anu—"

"Apa??"

"Yang—yang penting plesternya bisa ngobatin luka," jawab Seano tersendat-sendat.

"Ohhhh."

Seano lega karena setelah itu Alya diam dan tidak lagi bertanya.

Tanpa Alya sadari kehadiran Seano mampu menyamarkan perasannya yang sedang carut-marut.

Kedua memilih diam, menyamankan diri dalam keheningan. Seano masih begitu khusyuk mengelus-elus plester yang ia tempel di tangan Alya, sedangkan Alya, ia diam menerawang udara di depannya dengan perasaan setengah hangat dan setengahnya lagi gamang.

Seano Magara✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang