27 | Binasanya cahaya harapan

42 9 0
                                    

Satu hal yang tidak mengenakan ketika musim hujan tiba adalah hujan yang datang tidak tahu waktu. Seperti pagi ini, waktu masih menunjukan pukul enam pagi tapi hujan sudah turun dengan derasnya. Padahal pukul segini pasti banyak orang yang akan berangkat sekolah atau kerja, mereka pasti kerepotan.

Dan Alya termasuk salah satu orang yang direpotkan hujan pagi ini. Ia sudah siap dengan setelan seragam sekolah paling licin yang pernah ia pakai, tapi ternyata cuaca tidak mendukungnya, hujan justru datang dan mengacaukan segalanya.

Di depan pintu yang terbuka lebar, Alya menghembuskan napas kecewa. Dalam hati ia merutuki setiap tetes air yang jatuh membasahi bumi. Namun, belum utuh rutukannya tersampaikan, Alya tiba-tiba ingat akan ucapan Ibu yang pernah beliau ucapkan beberapa tahun yang lalu.

Dulu ketika semua belum separah ini, Alya kecil merajuk di depan pintu rumah yang terbuka lebar.

"Kok cemberut?" Ibu Tiff mengelus pelan rambut hitam Alya yang hari itu dikuncir dua.

"Hujan."

"Terus kenapa cemberut?"

"Hujan datang, Bu. Alya gak bisa pergi les piano." Dengan nada manja Alya mengadu pada ibunya.

Tiffany tersenyum sambil mengusap surai anaknya. "Kan minggu depan masih bisa pergi."

"Alya gak suka hujan! Hujan bikin repot! Hujan nakal! Hujan selalu buat Alya gak bisa pergi les!" Setelah menyuarakan apa yang dipendamnya, hujan juga ikut turun dari mata Alya dan melintasi pipi gembilnya. Alya kecil menangis.

Masih di posisi yang sama, tanpa memedulikan hujan yang kian deras hingga percikan-percikan air mengenai teras. Tiffany mendudukan dirinya di lantai kemudian meraih Alya kepangkuannya. Dengan tangan yang mengelap air mata Alya, Tiffany berbicara.

"Hujan itu rezeki, sayang. Hujan rahmat dari Tuhan untuk kita semua. Kalau hujan, tanaman bisa makan. Kalau hujan, sungai gak kering, jadi hewan bisa minum. Hujan juga mencegah kekeringan, coba kalau gak hujan, nanti krannya mampet gak keluar air, kalau gak keluar air nanti Alya gak bisa minum sama mandi. Ibu juga gak bisa masak sama nyuci. Terus gimana dong kalau udah gitu?"

"Kalau gak mandi bau. Kalau gak nyuci juga bau. Kalau gak bisa minum haus. Kalau Ibu gak masak, gak bisa makan. Kalau gak makan lapar. Kalau haus sama lapar..." Alya mendongak menatap ibunya dengan mata terbuka lebar.

Tiffany tersenyum dan mencubit pipi Alya yang mirip bakpau. "Gimana hayoo?"

"Gak apa-apa deh hujan datang, tapi jangan sering-sering ya."

"Bilang dong sama hujan."

Alya berdiri dan melangkah mendekati bibir teras lalu menengadahkan tangan menangkan tetes demi tetes air yang bisa ia raup, setelah itu meneriakan pesannya untuk sang hujan.

"Hujannnnn, kalau datang jangan sering-sering, yaaaa."

Sudut dada Alya berdenyut nyeri ketika ia meneriakan pesan yang sama seperti beberapa tahun yang lalu. Semuanya seolah terputar kembali, hujan di pagi hari, di teras rumah yang mulai lembab, dan Alya yang terjebak oleh hujan, itu semua sama. Yang beda hanyalah eksistensi ibunya, kalau dulu ada ibunya, kini tidak, Alya sendiri.

Tanpa sengaja mata Alya menangkap sebuah kotak berwarna hijau yang mengambang di tengah genangan air. Tanpa memedulikan hujan yang masih mengguyur, Alya berlari keluar untuk mengambil kotak hijau itu. Ketika melihatnya, pikiran Alya kembali terbayang oleh kotak biru dan merah yang dikirim secara misterius ke rumahnya, lalu kini ada satu lagi kotak serupa.

Tin!

Alya hampir terjengkang ke belakang jika saja ia tidak berpegangan pada pagar di belakangnya. Mulut Alya sudah terbuka siap merutuki pengemudi mobil yang hampir membuatnya kejengkang jika saja orang itu tidak segera membuka kaca mobilnya.

Seano Magara✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang