31 | Harapan mustahil

32 10 0
                                    

Pukul tiga lebih dua puluh menit.

Langit pagi kali ini hitam pekat tanpa bintang. Lagi dan lagi, mendung menelan kelip bintang yang seharusnya mengisi kegelapan langit.

Meski udara pagi terasa begitu menusuk, Seano tetap geming di depan jendela kamar yang terbuka lebar. Ditemani instrumen piano nada-nada minor dari earphone-nya, ia memejamkan mata menikmati setiap nada yang berdenting dan juga udara pagi yang menyapu wajahnya tanpa ampun.

Seano menengadah menatap langit yang sepi akan bintang, sambil sesekali menghela napas berat. Rasanya seperti ada sesuatu yang bercokol di dalam hati hingga membuatnya tidak bisa menikmati setiap napas yang ia masukan ke paru-paru. Seano tidak yakin apa itu, yang jelas seperti perasaan cemas, tapi cemas untuk hal apa Seano tidak tahu.

Pada akhirnya Seano memilih mengabaikan perasaan tidak jelas yang tiba-tiba menderanya itu. Bersamaan dengan ia mengabaikan perasaan itu, Seano berjalan kearah nakas samping tempat tidurnya dan mengambil sebuah notes kecil warna ungu yang tergeletak di samping gelas.

Setelah mengambil notes Seano kembali ke tempatnya semula. Dengan hanya ditemani semilir angin pagi, Seano membuka lembar demi lembar notes yang kini berada di tangannya. Kemudian tersenyum tipis kala ia membaca impian-impian sederhana yang tertulis di sana. Dan senyumnya semakin lebar kala ia menyadari bahwa coretan pada setiap mimpi yang tertulis semakin bertambah banyak.

Hanya dengan itu perlahan hatinya menghangat. Ia tidak butuh notes untuk menuliskan mimpinya, karena dia hanya punya satu mimpi yang telah tertulis rapi di ingatannya, yaitu-- Seano ingin dia selalu bahagia.

Lalu Seano menutup notes kecil bersampul kupu-kupu itu dan mengembalikannya ke tempat semula.

Seano kembali menuju jendela, tapi bukan untuk bergeming seperti sebelumnya. Ia menutup jendela rapat-rapat hingga dinginnya udara pagi tidak bisa menembus kokohnya kaca, ia juga menarik gorden hingga kelamnya langit tidak bisa lagi menyapa mata.

Dengan hati yang masih bercokol dan belum lega sama sekali, Seano berjalan ke kasurnya untuk kembali bergelut dengan selimutnya yang hangat.

•~•

Dingin adalah satu kata yang cocok untuk menggambarkan suasana pagi ini.

Pagi ini terasa sedikit berbeda. Tidak ada matahari yang menyambut, tidak ada langit biru yang menyapa. Burung-burung bahkan absen untuk bertengger di kabel listrik. Yang ada hanya lah langit kelabu dan angin dingin yang bertiup lebih kencang dari biasanya.

Alya menarik selimutnya sampai menutupi kepala, ia benar-benar mengubur tubuhnya di balik selimut tebalnya itu.

Keadaan sangat mendukung Alya untuk bermalasan-masalan pagi ini. Dingin dan akhir pekan selalu menjadi kombinasi yang pas untuk mengantar orang-orang bermanja ria dengan selimutnya, dan pagi ini itulah yang dirasakan Alya.

Pagi hari di hari Minggu yang dingin memang paling tepat untuk tidur. Alya juga tidak mungkin keluar rumah karena matanya bengkak akibat ia menangis hampir semalam suntuk. Belum lagi kepalanya yang pening dan hidungnya yang beler. Alya bahkan sampai kesulitan mengenali dirinya sendiri ketika tadi ia bercermin, dirinya sudah terlampaui kacau.

Sadar bahwa bergelung di bawah selimut hanya akan memperparah kedaannya, Alya beranjak turun ke bawah.

Alya tidak begitu ingat bagaimana keadaan ruang tamu karena kemarin ia sudah terlalu pusing untuk mengingat keadaan sekitar, tapi ketika kakinya sampai di ujung tangga, ia jadi ingat, dan pening langsung menyerangnya lagi.

Seano Magara✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang