Alya merasa tiba-tiba dirinya diserang gangguan kecemasan saat Reinal mengatakan bahwa rumahnya sudah dekat. Kekuatan yang diberikan Seano beberapa menit yang lalu seolah habis dan butuh diisi ulang. Tingkat kecemasannya mencapai pada puncaknya ketika tiba-tiba mendung memboikot langit Jakarta yang tadi terang benderang, seolah memberinya bocoran kalau hari ini tidak akan berjalan dengan baik.
Berulang kali ia memainkan jari-jarinya hingga berkeringat, berulang kali pula ia menggigiti bibirnya, tapi sepertinya walau jari-jarinya sampai patah dan bibirnya sampai berdarah, itu tidak akan cukup meredam rasa cemas, gugup, dan khawatir yang kini menyerangnya.
"Semua bakal baik-baik aja, kok."
Ini yang tidak Alya suka. Lebih baik berkata kemungkinan terburuk dari pada mengatakan semua akan baik-baik saja, tapi pada akhirnya tidak bisa menjamin itu terjadi. Alya tidak mau kecewa jika nanti ekspetasinya jatuh. Lebih baik memasang ekspetasi rendah daripada ekspetasi tinggi namun tidak menjamin akan tercapai.
"Kita gak tahu kedepannya."
"It's okay, semua akan berhasil kalau kamu tenang."
Ya, Alya harus tenang. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan mata terpejam. Dan secara ajaib, hatinya terasa lebih tertata begitupun perasaannya.
Ketika Alya membuka mata, mobil Reinal mulai memasuki halaman rumahnya yang seluas bandara. Dari dalam sini bisa Alya lihat mobil papanya terparkir di samping mobil Alphard yang tidak Alya pedulikan milik siapa.
Ketika turun dari mobil ia menyempatkan diri untuk meraup okesigen banyak-banyak sebagai pasokan jika saja di dalam sana dia tidak sempat menghirup oksigen.
Dengan langkah pasti namun gemetar Alya memasuki rumah Reinal untuk yang kedua kalinya.
"It's okay." Lagi, Reinal merapalkan kalimat itu. Sebenarnya bukan hanya untuk Alya, tapi juga untuk dirinya yang juga sama gugupnya dengan Alya.
Hal pertama yang Alya lihat ketika ia telah sepenuhnya masuk ke dalam rumah Reinal adalah wajah kaku papanya yang duduk di depan orang tua Reinal.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Semua yang ada di sana menjawab salam dan memusatkan perhatian pada Reinal dan Alya.
Luthfi bangkit dan menghampiri Alya dengan senyum keibuan. Sejenak Alya sedikit lega karena senyum yang Luthfi tampilkan saat ini. Setidaknya keluarga Reinal tidak menaruh benci kepadanya karena dengan seenak jidat membatalkan perjodohan ini.
"Ranalya, apa kabar?" tanya Luthfi sembari mengelus lengan kanan Alya.
Alya tersenyum canggung. "Baik, Tante."
"Ayo, duduk."
Alya mengekori langkah Luthfi, begitupun Reinal di belakangnya.
Beberapa detik setelah Alya dan Reinal bergabung dengan Handoko, Luthfi dan Adimas, suasana canggung tak dapat dihindarkan. Beruntung tak berselang lama setelah itu, Handoko berdehem dan mulai berbicara.
"Tempo hari Reinal bilang kepada saya, jika dia tidak mau melanjutkan perjodohan ini," ucap Handoko lugas, tanpa keraguan sedikitpun.
"Tidak bisa begitu."
"Dan anak anda, Ranalya, juga menginginkan hal yang sama."
Alya diam, ia masih menunggu reaksi papanya.
"Tidak—"
Belum selesai Adimas bicara Handoko lebih dulu menyelanya. "Anak anda juga tidak berkenan, Pak Adimas. Benar begitu Ranalya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seano Magara✓
Fiksi RemajaRanalya Syakilla, perempuan lugu nan polos yang kerap diajak bercanda oleh takdir. Dia perempuan sederhana, tapi rumit hidupnya. Dia perempuan yang hanya ingin cinta, tapi tidak pernah mendapatkannya. Hingga suatu hari tanpa disengaja, seseorang pe...