26 | Setitik cahaya dalam kelam

36 11 0
                                    

Keributan sudah terjadi di kediaman Seano walaupun hari masih terbilang pagi. Jarum jam masih menunjuk angka enam tapi keributan tetap tidak terhindarkan.

"Aku lebih baik sekolah, Seano." Sudah terhitung sepuluh kali lebih Alya mengatakan itu, tapi Seano tetap lah Seano.

"Gak bisa, kamu gak lihat itu dahi benjut kayak mangga baru jatuh?"

Alya tetap keukeuh. "Tapi aku bakal lebih baik kalau ketemu sama yang lain, Seano."

Jika Alya keukeuh, Seano jauh lebih keukeuh. "Emang ketemu aku disini gak cukup?"

Alya bingung harus bagaimana lagi meyakinkan Seano bahwa dia ingin pergi ke sekolah. Tidak peduli jika dahi benjutnya bertebaran, yang jelas Alya tidak mau sendiri, dia akan merasa lebih baik ketika bertemu sahabat-sahabatnya. Tapi membujuk Seano jauh lebih sulit daripada membujuk bayi yang tidak mau makan. Sudah hampir satu jam Alya merengek minta sekolah, dan satu jam pula rengekannya hanya dianggap angin lalu oleh Seano.

"Tapi nanti kamu akhirnya pergi juga, kan?"

"Enggak, siapa bilang? Aku bakal di rumah?"

Benar, kan, apa yang Alya bilang. Susah. Susah sekali membujuk Seano yang keras kepalanya melebihi baja.

"Kamu mau bolos?!" tanya Alya tak percaya.

"No. Bukan bolos, tapi izin."

"Gak bisa gitu dong! Kan kamu gak ada keperluan, berarti sama aja bolos."

Seano memejamkan matanya. Satu jam berdebat dengan Alya cukup membuat batinnya terguncang.

"Kan urusannya ngurus kamu, Ranalya Syakillaaa." Dengan senyum manis dan nada selembut sutra Seano mengatakan hal itu.

Berbanding terbalik dengan Seano yang melembut, Alya justru memasang wajah nyolot dan mengatakan sesuatu yang membuat Seano ingin menampolnya. "Tapi akunya gak mau, Seano Magaraaa."

Tahan Seano, tahan, kamu bisa.

Jika raungan batin Seano terdengar, mungkin akan berbunyi seperti ini; kenapa pacarku berbeda Tuhan?

"Al-"

"SURPRISEEEEEE!!"

Bukan hanya Seano dan Alya yang terlonjak kaget, tapi juga kucing peliharaan Alisha yang baru di beli kemarin lusa.

Ketika mereka menoleh, di ambang pintu kamar Alisha telah berdiri Raffa, Shifa, Alex, Lexa, Yaya, dan Alta dengan gaya yang luar biasa absurd.

Alya melongo, begitupun Seano.

"Loh kok kalian?" tanya Alya sembari menunjuk kearah mereka.

Shifa cengengesan, kemudian berkata. "Daripada lu yang ke sekolah, mending kita-kita yang kesini. Iya gak?"

"WO YA JELAS."

Seano memijat pangkal hidungnya, jelas dia pusing, karena rumahnya sekarang sama ramainya dengan pasar ayam. Coba jika bukan karena Alya, Seano pasti sudah menendang sahabat-sahabatnya yang tidak tahu malu itu keluar rumah.

"Jangan masuk! Di ruang tengah aja." Seano menggiring sahabat-sahabatnya untuk ke ruang tengah saja. Bahaya kalau kamar Alisha sampai hancur, bisa-bisa Seano yang dislepet Alisha.

Seperti yang diharapkan Seano cs, kini ruang tengah sudah dipenuhi dengan berbagai kudapan lezat.

"Buset makanan udah kayak pasar, Tante Irina memang mantul!" Alta memberikan Irina enam jempol—yang empat pinjam Lexa dan Alex.

Irina hanya geleng-geleng kepala menanggapi tingkah ajaib teman-teman Seano, terlebih Alta.

"Meong..." kucing peliharaan Alisha tiba-tiba saja datang dan mulai ndusel-ndusel di kaki Raffa. Raffa yang dasarnya memang bucin kucing, tanpa ragu langsung menggendongnya seperti anak sendiri.

Seano Magara✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang