TPB 4 : Bertemu Gadis Bernama Airin

4.1K 563 10
                                    

ELISHA berjalan memasuki rumah yang bak kastil tersebut. Dengan arnomen yang begitu indah dan tampak tenang. Ia sengaja mengambil tempat yang sunyi dan senyap bahkan tetangga-tetangga yang ada cukup jauh dari dirinya.

Karena Elisha tidak suka anjing yang berisik.

Disambut beberapa maid sebelum memasuki ruang tamu rumahnya. Langkahnya terhenti saat melihat sepasang suami-istri yang tiba-tiba berdiri dari sofa saat melihat Elisha.

Elisha hanya menatap datar keduanya. Aura yang tiba-tiba berubah membuat para pekerja Elisha segera kebelakang dan melaksanakan tugasnya masing-masing. Elisha bersedekap dada saat kedua orang berbeda gender itu mendekat.

"Untuk apa Tuan dan Nyonya datang ke gubuk reot ini?" ujarnya datar masih dengan raut tenang. Lelaki didepan Elisha menatap Elisha dingin. "Elisha---"

"---Pintu keluar ada disana." potong Elisha sambil menunjuk pintu besar yang megah tersebut.

Wanita disamping lelaki tersebut menggeram marah. "Elisha, bagaimana sikap kamu dengan orangtua mu!?"

Elisha tersenyum miring, "Orangtua? Maaf, tetapi mereka telah lama mati." ujar Elisha santai sambil menaiki tangga menuju kamarnya. Ia mengabaikan wajah-wajah marah orang dibawah. Samar-samar Elisha mendengar sebuah suara dingin, "Kamu harus pulang kali ini, kalau tidak jangan harap orang disekitar mu aman."

Sekali lagi Elisha tidak peduli. Ia tidak memiliki siapapun disisi nya untuk ia khawatirkan. Sambil berjalan, Elisha berujar tenang. "Aku tidak memiliki siapapun di dunia ini. Kau pun tau hal itu." ia berkata dengan tenang tanpa penekanan tapi entah mengapa suaranya begitu menggema di seluruh ruangan dan yang mendengar langsung merinding.

***

Keseharian Elisha saat di kamar adalah duduk santai di balkon sambil meminum latte kesukaannya. Ia menatap asrinya pohon Pinus yang ada disekitar rumahnya. Jangan lupakan pegunungan yang sejuk dan asri jauh didepan sana dengan anak sungai yang mengalir dengan tenang.

Sambil tersenyum tipis, Elisha menatap layar handphonenya yang banyak sekali notifikasi masuk dari nomor tidak dikenal. Yang Elisha tau, mereka adalah fuckdog. Pacar Elisha dan mantan-mantannya yang selalu menyempatkan untuk memberi pesan.

Very noisy dog.

Elisha mencari salah satu kontak seseorang dan menelponnya. Setelah beberapa menit menunggu perempuan operator seluler berbicara, akhirnya seseorang yang ditunggu mengangkat telepon juga.

"Ini aku. Kafe biasa."

***

Elisha saat ini ada disebuah kafe klasik yang tampak menawan. Dengan desain kayu dengan bau yang khas, Elisha menatap jendela disampingnya. Sangat menarik dan menenangkan, pikirnya.

Sambil memejamkan mata, ia memakai earphone sambil mendengar irama lagu yang menenangkan. Tak lama matanya terbuka saat merasa seseorang mendekatinya.

Seorang gadis yang tampak cantik dengan pakaian casual nya tengah duduk di hadapannya. "Long time no see." ujarnya dengan senyuman miring.

Elisha juga tersenyum miring. Tangannya terulur untuk mengelus lembut surai hitam gadis dihadapannya itu. "Waktu itu gak sempat bicara, ya?" ujar gadis itu lagi membuat Elisha mengangguk.

"Well, gimana kabar lo?" ujar Elisha berbasa-basi membuat gadis dihadapannya tertawa renyah. "Sejak kapan Elisha berbasa-basi? Elisha gak suka anjing yang berisik, 'kan?"

Untuk kesekian kalinya Elisha tersenyum miring. Ia sangat menyukai gadis dihadapannya. "Tinggal di Aussie gak mengubah sifat lo."

Gadis itu kembali mengangguk, "Of course. Gue tetap menjadi gue."

"Masih jadi boneka perusahaan?" tanya Elisha sembari menyeringai membuat gadis dihadapannya berhenti menyeruput milkshake strawberry yang sudah dipesan Elisha sebelumnya.

"I don't need to answer. Lo pasti tau jawabannya." gadis dihadapan Elisha tau, kalau ia tidak bisa menyembunyikan apapun dari Elisha. Gadis itu tersenyum miring, "Lo tau... gue pengen bales dendam."

Elisha tersenyum tipis dan memainkan rambutnya. "So, mau gue bunuh orang itu buat Lo?" ujarnya tenang. Gadis dihadapannya hanya tenang mendengar jawaban Elisha. Ia sudah paham betul apa yang akan Elisha katakan.

Gadis dihadapan Elisha hanya tersenyum sinis, "No. Certainly not. Viona Airin Marselia tidak akan menggunakan cara kotor kayak Lo. Gue lebih suka dengan tindakan gue sendiri." ujar gadis itu membuat Elisha terkekeh.

Walaupun kata-kata gadis itu menyinggung, Elisha sama sekali tidak terpancing. "Gue suka jawaban Lo. Kita hanya berbeda dalam melakukan tindakan. Lo belum berubah, Airin."

Gadis yang dipanggil 'Airin' tersenyum manis. Hingga siapapun sanggup menoleh setidaknya lebih dari dua kali untuk menikmatinya. "Lo juga merasakan. Tapi mereka mengatakan kalau gue berubah."

"Mereka hanya tidak sadar kalau semuanya tidaklah sama. Saat itu semua terjadi, maka hanya penyesalan yang menyelimuti."

Airin mengangguk, "Hari ini hari ke-dua gue sekolah. Dalam satu minggu terakhir, banyak yang gue lalui."

Elisha mengangguk. "Mereka hanya mencela kita tanpa tau kebenaran dari hidup itu sendiri."

"Mereka hanya ingin tau tanpa peduli... itu sebabnya gue benci manusia." ujar Airin sambil menatap jendela disebelahnya.

Airin menatap jam tangan mahalnya yang setara dengan rumah mewah kemudian menatap Elisha. "Biasa... meeting."

Elisha mengangguk dan ikut berdiri saat Airin berdiri. Sebelum pergi, Airin memeluknya dan berkata, "Kurang-kurangin memelihara Anjing. Sesekali, pelihara manusia kayak Lo menganggap gue manusia. See you next time, Yaya."

Elisha menatap mobil Airin yang sudah melaju dengan tatapan yang tidak terartikan. Ia tersenyum kecil membayangkan pertemuan pertama mereka di Aussie beberapa tahun yang lalu.

Saat itu sudah tengah malam. Elisha berjalan-jalan menggunakan mobilnya yang di supir oleh supir pribadinya. Di tengah jalan ia melihat gadis seumuran dengannya sedang menghajar beberapa preman.

Elisha keluar dari mobil. Jangan kalian sangka Elisha akan membantu Airin, ia hanya menonton sampai beberapa preman itu terkapar di jalan yang sunyi itu.

Saat melihat gadis itu, Elisha baru mengangguk-angguk. Gadis itu adalah Viona, model cilik yang terkenal kala itu. Beberapa saat kemudian ia mendekati gadis tersebut dan menawari minum teh keesokan harinya.

Sejak saat itu mereka saling memahami. Elisha tidak lama disana karena ia harus pulang ke Indonesia dan meninggalkan Airin yang saat itu tinggal di Aussie. Kalau diingat-ingat, hanya Airin yang tidak kabur saat melihat sifat Elisha yang sebenarnya.

Lamunan Elisha buyar saat bahunya disenggol seseorang lelaki membuat Elisha sedikit meruntuki kecerobohan dirinya yang tidak peka akibat memikirkan masa lalu.

Lelaki tadi berpakaian serba hitam. Entah perasaan Elisha saja, tetapi lelaki bertubuh tinggi tinggi dan bagus itu tampak menutupi wajahnya dengan masker dan topi yang dipakainya.

Ia bahkan meminta maaf menggunakan isyarat badan lalu pergi begitu saja tanpa kata. Elisha masih menatap punggung lelaki tersebut yang makin lama menghilang.

Ia menatap lantai dan menemukan sebuah gantungan kunci dengan nama 'Sean' yang terukir kecil. Gantungan tersebut unik dengan ukiran Elang yang indah membuat Elisha kembali menatap tempat perginya lelaki tadi.

Elisha menyeringai, "Menarik."

Beauty Psycho (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang