"Dengan sifatmu itu, mustahil para investor akan berdatangan, Elena." Hans menghela nafas sambil memijit pangkal hidungnya. Sedangkan Mario menanggapi itu dengan kekehan ringan.
"Apakah kamu berencana mewarisi perusahaan induk?" tanya Mario. Kali aja Elisha mau, lelaki itu ingin kembali ke pribadinya yang bebas dan ia merindukan karir seninya.
Elisha menggeleng. "Sesuatu yang merepotkan tidak cocok untuk saya, Paman. Saya hanya ingin menjadi Nona keluarga kaya yang menganggur." Elisha menyesap tehnya yang terasa sepat.
"Jadi pengangguran?"
"Hm. Menjadi nona kaya pengangguran adalah cita-cita saya," jawabnya dengan nada menyebalkan.
"Kamu ingin membunuh kakekmu ini?" tanya Hans jengah dengan cucunya yang tingkahnya semakin hari semakin nyeleneh.
"Ide bagus." Elisha menyeringai, "warisan oh warisan datanglah," kelakarnya sambil bersenandung.
"Sayang sekali aku tidak memiliki cucu selain kamu, Elena." Sekali lagi, Hans menghela nafas panjang, "bukannya hidup tenang di surga, aku bisa saja memikirkan bagaimana nasib keluarga ini."
Elisha menahan tawanya saat melihat wajah nestapa Hans. "Sayang sekali, saya tidak berminat akan menjadi kepala keluarga apalagi CEO perusahaan," lanjut Elisha.
"Banyak kok pengusaha muda yang sukses, Elena. Kamu tidak perlu merasa kurang percaya diri seperti itu." Mario mengangkat suara, mencoba membujuk gadis dihadapannya ini.
"Apa-apaan? Saya percaya diri kok sebagai pengangguran."
"Ya Tuhan, kamu membuatku mati, Elena," erang Hans semakin gusar.
"Mimpi. Apa mimpimu?" tanya Mario mulai jengah. Saat Elisha ingin menjawab, ia langsung menyela dengan cepat, "selain menjadi nyonya pengangguran yang kaya!"
Elisha kembali mengatupkan mulutnya. Berpikir sejenak, ingin menjadi apa dirinya kelak. Tidak ada, Elisha tidak pernah memikirkan sejauh itu.
"Tidak tahu. Saya tidak memiliki mimpi," jawab Elisha lugas lagi-lagi mematahkan semangat kakek dan pamannya.
"Gimana kalau ..." Mario menerawang, "kamu kan ahli debat, kamu juga suka menggali informasi ataupun mengungkapkan sesuatu, bukan? Nah—"
"Tidak tertarik, Paman. Saya belum memikirkannya," potong Elisha. Walaupun begitu, ia memikirkan apa yang diucapkan Mario. Rasanya itu adalah pilihan yang cukup bagus dan cukup menarik perhatian Elisha.
Bagaimana jika Elisha menjadi pengacara saja? Walaupun rasanya terdengar tidak masuk akal, tetapi Elisha juga berhak melakukan apa yang ia mau, 'kan?
Elisha lalu mengulum senyum dan bangkit dari kursinya membuat Hans dan Mario menengadah kecil.
"Mau kemana?" tanya Hans.
"Saya ada janji dengan seseorang." Sambil menatap jam tangannya, Elisha menjawab dengan senyuman.
Gadis itu lalu mengambil tasnya di atas nakas kemudian memeluk Mario dan Hans bergantian. "Saya pergi dulu, ya!" pamitnya.
Elisha meninggalkan kediaman William dengan senyuman dingin. Wajah hangatnya sudah berubah saat ia keluar dari ruangan Hans. Gadis itu sekali lagi menatap jam tangannya.
Ia mengendarai mobilnya ke suatu restoran di tengah kota. Elisha lalu berjalan menuju ruangan VVIP yang sudah dipesan sebelumnya.
Seorang lelaki tampan terlihat sedang duduk tenang saat Elisha datang. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan mata yang membuat Elisha hanya tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty Psycho (END)
Teen Fiction[Mengusung tema mental health pada tokohnya. Ada plot twist dan teka-teki yang membuat Anda mikir.] CERITA INI BELUM DIREVISI! Ketika dua orang dengan masa lalu yang sama dan bersangkutan berusaha keluar dari lubang kegelapan yang penuh dengan teria...