Berhubung hari ini tanggal merah, Elisha bisa pergi ke pemakaman di pagi hari. Ia tak lupa membawa keturunan Pradipta tentunya.
Dilihat dari depan, pagar gerbang pemakaman ini cukup besar dan kokoh. Cuacanya sedikit mendung dan Elisha tidak nyaman dengan itu.
Setidaknya, jika ia mengunjungi makam Elisha yang asli, ia tidak merasakan takut apa-apa. Tapi, lain halnya sekarang, ia berada di pemakaman keluarga yang membuatnya selalu kepikiran.
"Sebenarnya, apa yang lo cari di sini?" Sean bersedekap dada, menatap datar Elisha yang hanya diam memandangi hamparan pemakaman. Seakan ia merasa ragu.
Elisha sedikit tersentak, masih tidak menoleh, gadis itu menggeleng. "Bohong kalau gue bilang, gue nggak nyari apa-apa," jawabnya memberikan jawaban bahwa memang gadis itu sedang mencari sesuatu.
Sean mendengus mendengarnya. "Gue ngerti itu, maksud gue ... ah, serah lo aja!"
Dih, kok Sean sensian gini sih? Suasana hati Elisha kan jadi buruk gara-gara ini. Ikut mendengus, gadis itu berjalan menelusuri pemakaman ini secara perlahan.
Sejauh mata memandang, tidak ada yang spesial. Seperti pemakaman biasa saja, hanya saja ditengah-tengahnya ada bangunan bebatuan panjang keatas yang bertuliskan nama Pradipta saja.
Tunggu dulu, batu-batuan itu menarik perhatian Elisha. Gadis itu langsung mendatangi entah itu batu atau semen yang dibentuk kira-kira lebarnya 1 meter dan lebih tinggi dari Elisha.
Sean yang memperhatikan dari belakang ikut mendekati Elisha. Ia mengernyitkan dahinya kebingungan dengan apa yang sedang gadis itu lakukan. Mencoba paham, Sean ikut menelisik pada gapura itu.
Elisha mengusap wajahnya kasar. Ia begitu frustasi hingga rasanya ingin mencabuti rumput-rumput liar saja rasanya. Gadis itu menghapus keringat yang membasahi dahinya lalu mendudukkan diri di tanah.
"Lo tau, nggak tau apa-apa itu membuat gue kayak patung yang cuma bisa menerka-nerka," ujar Sean tiba-tiba.
Elisha menengah, sindiran ini ditujukan kepada dirinya dan Elisha hanya bisa tersenyum pedih. Tak tahu lagi, Elisha hanya mengangguk kemudian menggeleng.
"Itu benar. Gue ada di fase nggak tahu apa-apa. Tapi, coba lo pikir ..." Elisha tersenyum lembut, "kalau lo dari awal nggak tau apa-apa, pasti nggak akan menyakitkan, 'bukan? Lo nggak akan kepikiran."
Sean menggeleng. "Hal yang menyedihkan adalah saat yang lain tau tapi lo nggak."
Elisha paham dengan maksud Sean. Hanya saja, mengapa ia merasa ini seperti ditujukan kepadanya? Ya walaupun memang benar, Elisha hanya ingin menyangkal.
"Tapi bagi gue, kalau aja gue nggak pernah tau lebih awal, pasti gue nggak akan merasa jatuh ke titik terendah," kata Elisha.
"Dari situ, kita berdua juga udah tau kalau satu sudut pandang saja nggak cukup. Lo dan gue, kita harus saling melengkapi, bukan? Opini dan sudut pandang orang lain juga dibutuhkan."
Sean dan Elisha sama-sama tersenyum tipis.
Elisha bisa merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Gadis itu menoleh, menatap Sean yang memejamkan matanya sambil berdiri dihadapannya.
Wajahnya terlihat begitu polos saat memejamkan mata seperti itu. Elisha lalu mengulum senyuman manis dan ia menyenderkan kepalanya pada batu dibelakangnya.
Mata Elisha terbelalak lebar saat dengan tiba-tiba Sean mencondongkan tubuhnya membuat wajah pemuda itu hanya sejengkal dari wajahnya.
Elisha menahan nafasnya. Gila! Apa yang Sean lakukan? Dia mau melakukan sesuatu yang mesra di pemakaman keluarga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty Psycho (END)
Fiksi Remaja[Mengusung tema mental health pada tokohnya. Ada plot twist dan teka-teki yang membuat Anda mikir.] CERITA INI BELUM DIREVISI! Ketika dua orang dengan masa lalu yang sama dan bersangkutan berusaha keluar dari lubang kegelapan yang penuh dengan teria...