Elisha memegang tangan Netta yang gemetaran. Hari ini mereka akan melakukan ujian praktek Seni Budaya dan menunjukkan hasil kerja keras mereka hampir satu tahun ini.
Seperti biasa, Netta selalu khawatir dengan hasil yang mereka kerjakan. Walaupun ia tidak ditekan oleh mamanya seperti dulu, tetap saja sugesti diri untuk tetap menjadi terbaik itu masih ada.
"Relax, Bu Ketu." Elisha tersenyum lalu melirik Nia dan Ana yang sama gugupnya. Ia mendekati keduanya dan mengelus punggung dua gadis itu membuat Nia dan Ana tersentak kaget.
"Jangan kagetin gue! Astaga!" Nia mengelus dadanya dengan wajah panik, tampaknya rasa takut yang menyerang ini belum sepenuhnya hilang.
Ana ikut tersenyum lalu melirik Yazen dan Sean yang duduk santai saja tanpa melakukan apa-apa. "Kalian mau minum?" tawar Ana.
Semuanya menggeleng termasuk Elisha yang atensinya sekarang terfokuskan pada Sean yang duduk tenang. Tapi percayalah, Elisha bisa melihat bahwa pemuda itu juga gugup.
Tangannya sedari tadi tidak mau diam dan Sean menatap sekeliling seolah memperkirakan jumlah siswa-siswi yang ada di SMA Alger ini.
Elisha menghela nafas lalu mendekati Sean dan Yazen. Gadis itu berdehem kemudian mengulurkan tangannya dihadapan Sean.
Sean menoleh lalu melirik tangan Elisha yang berisikan satu kapsul obat. Pemuda itu lalu melirik Elisha dingin dan bertanya, "Lo mau ngeracunin gue?"
Tangan Elisha seketika kaku bersamaan dengan senyumannya yang ikut membeku. Gadis itu terdiam sedangkan Yazen melirik keduanya dengan pandangan tidak terartikan.
"Bukan, ini ... obat biar lo merasa tenang dan nggak gugup," bantah Elisha pelan.
Yazen menaikkan satu alisnya saat Sean malah mendorong kasar tangan Elisha hingga sebutir obat itu terjatuh ke lantai dengan sia-sia. Tubuh Elisha semakin dibuat kaku oleh tindakan Sean.
"Lo nggak bisa memastikan komposisinya." Sean tersenyum sinis, "siapa sangka kalau obat itu ada kandungan berbahaya," sambungnya tajam.
Senyuman Elisha luntur. Tangannya mengepal dengan erat. Ia menatap Sean dengan tatapan tidak terartikan. Gadis itu lalu menghela nafas.
"Gini perlakuan lo sama temen sendiri?" Suara penuh kesinisan tiba-tiba mengalihkan perhatian Sean dan Elisha.
Tak jauh dari mereka, Yazen berujar sinis dengan wajah datarnya membuat Elisha mengernyitkan dahi sedangkan rahang Sean seketika mengeras.
"Dikasih baik-baik, malah dibuang dengan buruk. Mau balas dendam?" sambungnya tajam.
Lutut Elisha seketika lemas saat mendengar ucapan Yazen yang merujuk pada lamaran pertunangan yang Elisha tolak beberapa minggu yang lalu.
Sean berdecak lalu mendelik tajam. "Urusan lo?" tanyanya balik, mencoba menghentikan Yazen yang menurutnya terlalu ikut campur.
Tangan Yazen mengepal saat mendengar nada suara Sean. Ia merasa kesal dengan pemuda dihadapannya. "Kasihan, tukang balas dendam rupanya."
Elisha merasa atmosfer ruangan ini tiba-tiba memanas. Itu sebabnya, ia mencoba menghentikan keduanya dengan bisikan yang masih bisa didengar keduanya.
"Yazen, lo bisa diam?" tukas gadis itu.
Yazen yang baru aja ingin melayangkan serangan pada Sean terpaksa menutup kembali mulutnya. Ia mendengus lalu mengulurkan tangannya kearah Elisha.
"Apa?" tanya Elisha bingung.
"Obat," jawab Yazen sambil memalingkan wajahnya yang memerah. Sean yang melihatnya langsung merasakan panas yang luar biasa. Pemuda itu mencengkram erat kuas kayu yang dipegangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty Psycho (END)
Fiksi Remaja[Mengusung tema mental health pada tokohnya. Ada plot twist dan teka-teki yang membuat Anda mikir.] CERITA INI BELUM DIREVISI! Ketika dua orang dengan masa lalu yang sama dan bersangkutan berusaha keluar dari lubang kegelapan yang penuh dengan teria...