Matahari mulai tergantikan dengan cahaya bulan. Suhu udara mendingin dan banyak terdengar suara binatang malam. Elisha menatap warga yang sedang membakar lauk pauk bersama.
Katanya, setiap musim hujan, banyak bencana alam yang menimpa desa ini. Tapi, tahun ini sepertinya Tuhan sedang memberikan belas kasihnya. Mereka merayakan hari ini dengan memasak banyak makanan dari siang hingga malam.
Elisha duduk diantara ibu-ibu yang sedang mengipasi sate-sate dengan wajah muramnya. Banyak hal yang ia pikirkan sampai gadis itu tidak terlihat fokus membuat beberapa ibu-ibu menyadarkannya.
"Maaf, saya sedikit pusing. Saya ingin mencari udara segar." Elisha tersenyum tipis, lalu beranjak dari tikar rotan itu dan sedikit menjauh dari keramaian.
Ia menghela nafas lelah. Tidak bisa menemukan Syina sangatlah membuat Elisha jengkel dengan dirinya sendiri. Apalagi, Elisha sudah percaya diri sebelumnya bahwa ia akan mendapatkan sesuatu yang mengejutkan.
Elisha tersadar, ia belum melihat Sean setelah pemuda itu tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Elisha lalu menatap sekeliling, mencoba mencari pemuda itu diantara pemuda-pemuda desa ini.
"Eh, anu! Lo lihat cowok gue, nggak?" Elisha menghentikan langkah seorang pemuda yang sedang membawa arang.
Pemuda itu menatap Elisha, terperangah dengan kehadiran gadis cantik dihadapannya. Elisha mendengus kecil sebelum membalikkan badan dan menjauhi pemuda yang tak bjsa diajak kompromi itu.
Elisha memeluk tubuhnya sendiri. Nyatanya ia merasakan hawa dingin semakin menusuk kulitnya. Berkali-kali lebih dingin dari kediamannya yang asri.
Elisha berjalan dengan malas sembari melirik-lirik, mencari Sean yang mungkin saja memilih menyendiri saat ini.
Tatapan Elisha terpaku pada seseorang pemuda yang duduk cukup jauh darinya. Dari sini pun, Elisha tau kalau itu adalah Sean.
Elisha mengulum senyum pedih, ia lalu berjalan mendekati Sean yang duduk dipinggir sungai tanpa suara. Pemuda itu duduk diam disana tanpa pergerakan.
Elisha duduk disamping Sean membuat pemuda itu menoleh singkat. Ia tampak terkejut tetapi mencoba tidak terganggu.
"Apa yang lo pikirkan?" tanya Elisha, menatap pantulan sinar bulan lewat air sungai yang jernih.
Sean menggeleng. "Nggak ada," jawabnya pelan.
Elisha mengulum senyum sambil mengangguk kecil. Ia lalu melirik tangan Sean dan memegangnya membuat Sean kembali menoleh.
Tangan Sean sangat dingin dan berkeringat membuat siapapun tau kalau ia sedang tidak baik-baik saja. Wajah pemuda itupun terlihat pucat.
"Ayolah! Masa lo mau diam kayak gini? Gue yang notabenenya adalah anak haram yang disembunyikan aja masih tenang-tenang aja!" Elisha berseru dengan semangat.
Sean tersenyum tipis lalu menatap tangannya yang digenggam longgar Elisha. Pemuda itu mengangguk samar dan memutar tangannya hingga jemari keduanya tertaut.
"Eh?" Elisha terkejut lalu menatap tangannya dan tangan Sean yang saling bertautan.
"Pegang tangan gue terus, Sha."
"Apa?"
Elisha membeku, saat tubuhnya tiba-tiba merasakan kehangatan tubuh Sean yang tiba-tiba mendekapnya. Pipinya seketika memanas saat pemuda itu membelai rambutnya dengan lembut.
"Pegang tangan gue terus saat gue sedang merasa lelah, Sha," pinta pemuda itu dengan suara lirih dan serak.
"S-sean?" Elisha mencicit. Tiba-tiba jantungnya kembali berdebar dengan kencang, meninggalkan sensasi aneh pada dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty Psycho (END)
Novela Juvenil[Mengusung tema mental health pada tokohnya. Ada plot twist dan teka-teki yang membuat Anda mikir.] CERITA INI BELUM DIREVISI! Ketika dua orang dengan masa lalu yang sama dan bersangkutan berusaha keluar dari lubang kegelapan yang penuh dengan teria...