III

215 42 7
                                    

"Apa-apaan ini? Kenapa semua barang Justin di beresin?" tanya seorang laki-laki dengan wajah pucatnya. Yang ditanya malah diam saja, seolah tidak mendengar.

"Pah. Justin nanya!" bentak laki-laki itu. Samuel membalikkan badannya, menatap sang putra semata wayang dengan sayu.

"Ikut papah, ya?"

"Kemana?"

"Indonesia."

Justin menggeleng. "Maksud Justin, kemana papah selama ini? Baru nongol pas tau anaknya sekarat?!"

"Justin..."

"Baru inget kalo masih ada Justin disini? Baru inget kalo manusia ini masih punya nyawa?!"

"Justin!" Samuel menaikkan beberapa oktaf suaranya. Tapi Justin tetaplah Justin. Lelaki tampan rupawan yang selalu merasa hidupnya kurang. Lelaki yang selama ini kesepian, harus mengurus semua urusannya sendiri. Tanpa ada yang menemani.

"Kenapa yang kemaren nanggung banget sih? Cuman sekarat? Kenapa gak sampe lewat aja?"

Plak

Satu tamparan mendarat sempurna pada rahang kirinya. Emosi Samuel menggebu-gebu. Ia paling tidak suka jika putranya itu mulai berbicara ngawur.

"M... Maaf Justin. Papah gak sengaja," ujar Samuel setelah akal sehatnya kembali dengan cepat. Justin tersenyum miring, mimik menyebalkan yang sarat akan ejekan.

"Papah? Gak malu sama embel-embel itu? Papah mana yang dengan tega ninggalin anaknya sendirian di tempat dia lahir?! Papah mana yang ngurusin kerjaan sampe lupa dia masih punya anak?! Dia pikir anak ini cuman butuh uang yang setiap saat dikirim dalam jumlah banyak?! Enggak! Justin bukan orang yang bisa dibeli sama materi."

Justin melangkah melewati Samuel. Ia bergerak untuk kembali meletakkan barang-barang ke tempatnya semula. Justin tidak akan ikut walau dengan alasan apapun. Ia lebih baik terus melanjutkan hidup yang monoton ini. Sampai nyawanya benar-benar menghilang.

Justin menolehkan kepala ke samping. Laki-laki itu membuang nafas gusar. Aduh malas sekali jika sudah seperti ini. Pasalnya ia akan cepat luluh.

"Justin... Papah mohon... Papah mau memperbaiki semuanya... Kasih papah kesempatan, nak. Papah gak mau gagal lagi... Papah mohon Justin," ujar Samuel memohon. Justin kembali membuang nafas dengan gusar.

Frustasi sungguh. Justin benar-benar tidak ingin mengikuti ajakan papahnya. Tapi melihat Samuel yang memohon sambil bersimpuh di depan kakinya, membuat Justin kembali berpikir dua kali.

Tidak suka melihat Samuel seperti ini. Justin memang membenci kedua orangtuanya. Tapi percayalah. Itu hanya ucapan yang keluar dari mulut saja. Tidak dengan hatinya.

Sampai saat ini, Justin masih mengharapkan kedua orangtuanya itu akan kembali bersama. Melanjutkan sisa usia dengan cinta dan penuh kasih sayang. Justin ingin melihat keduanya bahagia. Ia juga ingin kembali merasakan cinta setelah sekian lama. Justin ingin, tapi tidak pernah terjadi. Yang ada, ibu yang seharusnya menjadi tempat pulang, malah merajut cinta dengan lelaki lain.

Justin kecewa. Selama ini, orangtuanya egois. Tidak pernah ada dalam benaknya sedikit pun memikirkan tentang Justin. Kebahagiaan. Hidup. Dan well... Mungkin mereka juga tidak peduli Justin mau hidup atau mati.

"Apa rencana papah?"

Samuel memandang Justin. Laki-laki yang hampir memasuki usia paruh baya itu bangkit dari posisinya.

JUSTIN [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang