10

1.4K 271 90
                                    

Jika saja, Jisung dapat melihat kondisi Chan saat ini. Mungkin, di satu sisi ia akan sedikit merasa senang dan lukanya dapat sedikit terobati. Karena akhirnya, sang ayah mulai menyadari kebaradaannya dan selalu memikirkannya.

Bahkan sekarang, Chan mengabaikan pekerjaannya sebagai seorang pengacara. Ia benar-benar mengerahkan seluruh energi, upaya dan koneksinya untuk mencari sang anak. Pekerjaan bukan lagi prioritas utamanya. Tapi tetap saja disisi lain, Jisung akan tetap merasa terluka.

Kenapa harus ia menghilang dulu, baru ayah memperhatikannya, mengingatnya dan menyadari keberadaannya.

Apakah setidak berarti itu, kehadirannya untuk sang ayah?

Jika saja, Jisung melihat apa yang dilakukan oleh Chan saat ini. Mungkin ia akan tersenyum senang dengan raut wajah yang terlihat pura-pura tidak peduli. Karena akhirnya, sang ayah memutar kenop pintu kamarnya.

Menginjakkan kakinya di kamar Jisung dan bukan di kamar sebelah. Kamar milik saudara kembarnya, Felix.

Meskipun penghuni kamar tersebut sudah tiada. Tapi sama sekali tidak mengubah kebiasaan sang ayah, untuk selalu mengunjungi kamar tersebut. Dibanding berformalitas kepada Jisung yang jelas-jelas masih hidup.

Ah,, Bahkan setelah Felix tiada. Perhatian ayah tidak berubah sedikitpun.

Tetap untuk Felix.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jika dihitung, berarti sudah lima hari kamar yang didominasi oleh warna abu-abu tersebut ditinggal oleh pemiliknya.

Berbeda dengan kamar milik Felix, yang semuanya tertata rapi. Akibat dulu semasa hidupnya, Felix memang sangat memprioritaskan kebersihan dan kerapihan kamarnya.

Sehingga, saat ia telah tiada pun Chan tidak pernah lupa untuk selalu memastikan kamar milik Felix tetap bersih dan rapi.

Kamar milik Jisung lebih terlihat, seperti kamar remaja laki-laki kebanyakan. Selimut yang di biarkan begitu saja tanpa dilipat, meja belajar yang dipenuhi oleh buku-buku dan kertas yang berserakan serta gorden jendela yang tetap tertutup rapat.

Tapi sungguh, Chan mengerti. Anaknya yang satu itu bukannya remaja yang jorok. Jisung bukannya tidak bisa bersih-bersih. Hanya saja, dia memilki caranya sendiri untuk menandai wilayah ke kuasaannya.

Bahkan, Chan sangat ingat bagaimana Jisung menegaskan kepadanya dan kepada Felix. Untuk tidak menyentuh barang-barang yang ada di kamarnya. Tanpa izin langsung dari Jisung.

Meskipun, mereka berniat sekedar untuk membantu Jisung membersihkan kamarnya.

Tidak perlu.

Jisung bisa dan akan membersihkan kamarnya sendiri. Tanpa bantuan sang ayah maupun saudara kembarnya.

Ah,, Kau harus segera pulang. Agar bisa memarahi ayahmu yang buruk ini.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jika Felix adalah anak yang selalu membuka gorden jendela di pagi hari. Maka sangat berbeda dengan saudara kembarnya, Jisung.

Jisung lebih memilih untuk membiarkan gorden jendela kamarnya tetap tertutup. Seakan-akan tidak mengizinkan mentari pagi menghangatkan suasana kamarnya.

Ah,, Bagaimana bisa mengingat hal-hal kecil seperti ini, terasa sangat menyakitkan.

Setelah menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Tangan Chan nampak terulur untuk membuka gorden jendela kamar sang anak. Hendak membiarkan semburat sinar matahari pagi masuk dan memenuhi kamar Jisung dengan kehangatannya.

Dan sebuah senyuman segera terukir pada wajah Chan. Sesaat setelah ia selesai membuka gorden jendela. Akibat, melihat kaca jendela yang telah ditutupi oleh kertas karton berwarna hitam.

Ingatannya kembali pada saat dimana, Jisung merasa kesal atas sikap Felix. Yang masuk ke kamarnya saat ia masih terlelap. Dan tiba-tiba saja membuka gorden jendela.

Dengan niat untuk membangunkan atau mungkin lebih tepatnya mengganggu saudara kembarnya yang masih di alam mimpi. 

Ah,, Jisung sangat membenci matahari pagi yang mengganggu tidurnya.

###

ANOTHER DAY ~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang