24

1.2K 235 158
                                    

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Akhirnya setelah satu setengah jam, sesi wawancara tersebut usai. Dengan hasil akhir yang masih abu-abu. Masih belum dapat memastikan secara seratus persen, apakah keterangan yang Seungmin berikan akan dapat mereka gunakan sebagai petunjuk pencarian.

Berbeda dengan Jeongin dan Seungmin yang segera bergegas meninggalkan kafe. Chan memilih untuk berdiam sedikit lebih lama lagi. Ia butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikirannya. Berupaya untuk tetap bersikap optimis. Meskipun kenyataannya hal itu sangat sulit.

Tujuh hari.

Sudah satu minggu lamanya Jisung menghilang.

Masih bisakah mereka berharap?

Dirasa sudah terlalu lama berdiam di dalam kafe, Chan akhirnya memutuskan untuk pulang. Mengikuti jejak Jeongin dan Seungmin yang mungkin sudah kembali pada kesibukan mereka masing-masing sejak bermenit-menit yang lalu.

Atau mungkin juga tidak.

Karena nyatanya, Chan masih dapat menemukan sosok Seungmin. Tengah duduk seorang diri di sebuah bangku taman yang terletak tak jauh dari kafe tempat mereka ketemuan sebelumnya. Hanya butuh waktu kurang dari satu menit dengan berjalan kaki.

Ekhem! Seungmin belum pulang? Saya kira sudah”

Sapa Chan mencoba untuk menarik perhatian Seungmin. Yang saat ini tengah menengadahkan kepalanya. Memperhatikan suasana langit malam ibu kota. Gelap dan sepi tanpa hamburan bintang.

Seungmin yang sama sekali tidak menduga akan kehadiran sosok ayah dari sahabatnya itupun terlihat cukup terkejut dibuatnya. Dan membuat Seungmin hanya dapat menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas sapaan yang sebelumnya Chan ucapkan.

“Apakah kehadiran saya mengganggumu?”

Seungmin nampak menggelengkan kepalanya. Merasa sama sekali tidak keberatan jika Chan menemaninya untuk sekedar duduk-duduk.

“Kalau begitu boleh saya duduk?”

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini sebuah anggukan kepala Chan dapatkan sebagai jawaban. Seungmin juga nampak sedikit bergeser, membiarkan Chan untuk duduk di sampingnya.

Meskipun Seungmin tidak mengungkapkannya secara gamblang. Tapi Chan dapat mengerti bagaimana perasaan Seungmin saat ini.

Terkejut, sedih, menolak untuk percaya. Tentu saja, semua orang merasa seperti itu saat pertama kali mengetahui kabar hilangnya sang anak.

Jisung menghilang adalah suatu hal yang sangat tidak masuk akal. Namun sayangnya itulah kenyataanya. Jisung menghilang.

“Kamu pasti sangat terkejut mendengar kabar itu” Ujar Chan mulai mengawali obrolan. Dan dengan kepala yang menunduk Seungmin menganggukkan kepalanya. Tidak dapat mengelak bahwa kabar tersebut sangat mengejutkannya.

“Sungguh sangat bodoh. Pantas saja ia tidak pernah membalas pesan dan mengangkat telfon”

Dengan raut sedih dan merasa bersalah Seungmin menatap ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya.

Merutuki kebodohannya yang sudah marah-marah tidak jelas dengan Jisung yang belakangan ini mengabaikan semua pesan dan telfon darinya. Tentu saja sang sahabat tidak akan melakukannya atau mungkin lebih tepatnya tidak bisa.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

“Sepertinya kalian berdua sangat dekat. Tapi kenapa Jisung tidak pernah mengajak Seungmin bermain ke rumah?”

Mendengar pertanyaan Chan membuat Seungmin mengangkat kepalanya. Melihat lurus ke arah depan. Ke arah jalan yang sudah sepi, mengingat waktu yang sudah semakin malam. 

“Dekat? Entahlah. Sepertinya begitu” Jawab Seungmin ragu. Tanpa sadar bilah bibirnya terlihat naik ke atas membuat sebuah kurva ke atas. Mengingat kembali bagaimana ia dan Jisung berteman selama ini.

“Dan Bapak salah. Saya sudah pernah beberapa kali bermain ke rumah. Tapi sepertinya saat itu Bapak sedang tidak ada di rumah. Waktunya selalu tidak tepat”  Lanjut Seungmin menjelaskan.

Mungkin bukan waktunya yang tidak tepat. Tapi memang Chan lah yang jarang berada di rumah.

“Bukankah saya seorang ayah yang buruk”

Seungmin nampak mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan apa yang baru saja Chan ucapkan.

Ia memang merasakan bahwa hubungan Jisung dan ayahnya tidak cukup baik. Tapi selama ini ia tidak pernah mendengar langsung dari mulut Jisung yang mengeluh tentang sikap ayahnya.

Memuji atau membanggakan? Seingatnya Jisung juga tidak pernah menyinggung hal seperti itu. Jisung selalu menghindar apabila pembahasannya tentang keluarga. Seperti merasa kurang nyaman.

Dan Seungmin sendiri tidak ingin memaksa Jisung untuk membicarakan hal-hal yang membuatnya merasa tidak nyaman. Meskipun terkadang ia sendiri merasa sangat penasaran. Ingin mengetahui alasannya kenapa. Tidak hanya menebak dan berasumsi mandiri.

Bahkan ia baru tahu hari ini jika ayah Jisung adalah seorang pengacara ternama di ibu kota. Tuan Pengacara Chan yang saat ini duduk tepat di sampingnya.

“Saya tidak mengerti kenapa Bapak berbicara seperti itu. Dan juga bukan ranah saya untuk menilai baik atau buruknya Bapak sebagai seorang ayah”

Sejenak Seungmin menghentikan ucapannya. Mencoba merangkai kembali apa yang saat ini ada dibenaknya.

Untuk dijadikan sebuah kalimat yang sebisa mungkin mengawikili apa yang ia ketahui mengenai perasaan Jisung terhadap sosok laki-laki yang biasa ia panggil dengan sebuatan ayah.

Sedangkan Chan sendiri nampak terdiam, siap mendengarkan segala sesuatu yang akan terucap dari mulut Seugmin.

“Tapi satu hal yang saya ketahui dengan pasti adalah Jisung sangat menyayangi ayahnya. Dia, Jisung akan melakukan segalanya untuk membuat orang tersayangnya bahagia"

"Baginya keluarga adalah yang nomor satu. Bahagianya sang ayah adalah bahagianya. Dan Jisung tidak pernah membenci keluarganya”

###

ANOTHER DAY ~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang