5

1.6K 285 132
                                    

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Satu bulan telah berlalu sejak meninggalnya Felix. Namun, aura kesedihan itu sama sekali tidak berkurang. Chan memang sudah mulai beraktifitas seperti biasanya. Ia sudah mulai pergi ke kantor dan menjadi sosok ayah yang Jisung kenal.

Meskipun menurut Jisung, hal itu sama sekali tidak berarti. Sang ayah masih sama. Masih larut dalam kesedihan dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa Felix sudah tidak lagi bersama dengan mereka.

Dan sebenarnya, ini bukanlah sebuah rutinitas baru dimana Jisung menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri maupun untuk sang ayah. Karena semenjak Felix mulai sakit-sakitan. Mulai sering masuk rumah sakit. Dan mulai menjalani pengobatannya yang itensif.

Jisung mulai terbiasa melakukan semuanya seorang diri. Tidak hanya untuk sarapan tapi juga berlaku untuk hal lainnya. Ia sudah terbiasa dengan yang namanya kesendirian.

Jadi, meskipun saat ini sang ayah sudah bangun dan tengah bersiap untuk berangkat kerja. Tetap saja, akhirnya mereka akan sarapan sendiri-sendiri dengan apa yang telah Jisung siapkan sebelumnya.

“Ayah akan langsung berangkat?” Tanya Jisung saat ia melihat Chan keluar dari kamarnya dengan setelan rapi lengkap dengan sebuah tas berbahan kulit yang biasa sang ayah gunakan ketika hendak pergi ke kantor.

Tapi bukannya berjalan ke arah ruang makan tempat dimana Jisung sedang duduk menghabiskan sarapannya. Chan hanya terdiam sembari merapikan dasinya yang terlihat sedikit miring.

Euhm. Ayah akan langsung berangkat” Jawab Chan tanpa melihat ke arah sang anak. Ia masih sibuk merapikan penampilannya.

“Apakah ayah akan melewatkan sarapan ayah lagi?” tanya Jisung kembali.

“Makan saja. Ayah sedang tidak lapar” Jawab Chan lagi yang masih bersikap sama seperti sebelumnya.

“Tidak bisa begitu. Ayah tetap harus sarapan. Setidaknya dengan satu gigitan roti”

Jisung segera beranjak dari posisi duduknya dan segera berjalan mendekati sang ayah. Kemudian menarik Chan untuk duduk di salah satu kursi yang ada di ruang makan.

“Tidak apa-apa. Ayah sedang tidak lapar. Ayah harus berangkat cepat karena harus menemui seorang klien” Sanggah Chan yang masih tetap pada pendiriannya untuk tidak sarapan.

“Nah oleh karena itu, Ayah harus sarapan. Setidaknya sekali gigit saja. Ayah harus makan agar kuat"

"Bagaimana bisa ayah menjadi seorang pengaca yang keren jika tidak memiliki energi yang cukup” lanjut Jisung masih tidak menyerah untuk membujuk sang ayah agar berkenan menyentuh roti yang telah ia siapkan sebelumnya.

Ah... Bagaimana jika Jiji setelkan sebuah lagu? Orang bilang musik indah akan membuat kita merasa lebih baik dan tentu saja meningkatkan nafsu makan”

Jelas Jisung dengan sebuah senyuman ceria yang senantiasa terpatri apik pada bibirnya. Tangan mungilnya, mulai terlihat sibuk mencari sebuah lagu dari smartphone yang saat ini ada digenggamannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

“Kenapa kamu terlihat sangat ceria?”

Namun, kalimat yang keluar dari mulut Chan selanjutnya berhasil membuat Jisung seketika berhenti mencari lagu pada smartphone yang ada ditangannya. Dan segera mengalihkan atensinya menjadi menghadap ke arah sang ayah. Dengan tatapan tidak mengerti.

“Felix, saudara kembarmu baru saja meninggal dunia. Tapi kenapa kamu justru terlihat ceria? Kau senang? Karena akhirnya kamu tidak perlu berbagi apapun lagi. Semuanya akan menjadi milikmu”

Bagaikan dihantam sebuah batu besar, tentu saja Jisung dibuat tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bagaimana bisa Chan, ayahnya sendiri mengatakan hal menyakitkan seperti itu kepadanya, anak kandungnya sendiri.

“Ayah pikir aku benar-benar ceria? Setelah Felix tiada, ayah tidak pernah tersenyum-”

“Apakah ayah perlu tersenyum?” Potong Chan sembari menatap tepat pada netra kelam sang anak.

“Apa itu sangat penting?” Lanjut Chan lagi tanpa peduli jika kalimatnya tersebut akan menyakiti Jisung.

“Kenapa ayah berbicara seperti itu? Ayah tahu bukan itu maksudku. Aku juga ingin menangis. Tapi aku menahannya. Aku memaksa diriku untuk tetap tersenyum karena tidak ingin menambah-”

“Kalau begitu jangan tersenyum!” Bentak Chan membuat Jisung benar-benar terdiam.

“Kalau kamu mau menangis, menangislah! Tidak ada yang memaksamu untuk tersenyum”

“Aku!” Potong Jisung cepat sebelum Chan kembali membentaknya dan membuat keadaanya bertambah panas.

“...Akan berangkat sekarang” Lanjut Jisung sembari bergegas mengambil tas sekolahnya. Yang sebelumnya sengaja ia letakkan di kursi tempat ia sarapan sebelumnya.

“Aku ada kelas tambahan hari ini. Jadi, aku akan pulang terlambat” Pamit Jisung sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan sang ayah yang tetap bergeming diposisinya.

###

ANOTHER DAY ~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang