4

1.6K 284 119
                                    

Sebagai seorang adik yang pengertian, baik hati dan tidak sombong. Changbin, akhirnya memutuskan untuk menginap di tempat sang kakak.

Mengabaikan puluhan panggilan masuk dari komandan Tim maupun rekan kerjanya di Divisi Urusan Pidana. Yang pantang menyerah untuk terus menghubunginya.

Karena mau bagaimanapun juga, Chan adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini. Setelah kedua orang tua mereka tewas dalam kecelakan lalu lintas bertahun-tahun yang lalu.

Jadi, sekecewa apapun Changbin atas sikap sang kakak. Tetap saja ia tidak akan pernah bisa, melihat Chan yang kembali terpuruk untuk yang kesekian kalinya.

Tetap saja ia tidak akan pernah bisa membiarkan sang kakak melewati semua ini seorang diri.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sepuluh menit telah berlalu sejak Changbin berhasil memaksa Chan untuk duduk bersamanya di ruang makan. Lengkap dengan sebuah roti lapis dan segelas kopi yang sengaja Changbin siapkan untuk sarapan mereka.

Namun, berbeda dengan Changbin yang sudah akan menghabiskan roti lapis miliknya. Roti lapis milik Chan terlihat utuh tak tersentuh.

“Meskipun saat ini, kakak sama sekali tidak berselara untuk makan. Tapi kakak harus tetap menghabiskannya. Kakak harus memiliki energi dan tetap kuat...”

“...Untuk bisa menemukan Jisung”

Jelas Changbin yang mencoba untuk membujuk Chan agar berkenan mengisi perutnya yang kosong sejak kemarin. Setidaknya dengan satu atau dua gigit roti lapis.

Terlebih semalam sang kakak tetap terjaga. Dan hari ini pasti tidak akan mudah untuk dilewati. Jadi, ia pasti membutuhkan energi yang cukup.

“Apakah Jisung..."

"...baik-baik saja? Apakah dia dapat tidur dengan nyenyak? Apakah dia makan dengan baik?”

Ingin rasanya, Changbin menjawab pertanyaan Chan dengan jawaban positif. Yang tentu saja, merupakan jawaban yang ingin mereka dengar. Tapi entah kenapa, Changbin tidak bisa melakukannya.

Sudah lebih dari tiga hari, Jisung menghilang. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi dengannya di luar sana. Dan tidak dapat dipungkiri, jika itu kemungkinan negatif.

“Seharusnya, hari itu aku tidak membentaknya. Seharusnya, hari itu aku dapat mengerti jika ia juga terluka. Seharusnya, hari itu aku datang menjemputnya dan meminta maaf. Seharusnya...”

Kalimat Chan terhenti akibat dirinya yang tidak lagi kuasa untuk menahan air matanya. Ingatannya kembali pada saat dimana, Jisung yang rela bangun pagi hanya untuk menyiapkannya sarapan.

Namun, bukannya mendapatkan sebuah apresiasi. Chan sebagai seorang ayah malah kembali melukai hati sang anak.

“Aku benar-benar seorang ayah yang buruk”

***

ANOTHER DAY ~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang