"Tolong tanyakan pada Tuhanmu, bolehkah aku yang bukan umat-Nya mencintai hamba-Nya?"
-Xiao Dejun
Dapatkah aku dan dia melampaui kerasnya perbedaan?
Akankah kisah kami berakhir manis?
#1 : romansa sekolah
Sedang tahap revisi.
cr. Sartika Ayu Wulanda...
Hendery bilang harus di vote ya manteman! Happy reading!💚
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi itu, setelah perdebatan panjang dengan Mama akhirnya aku terpaksa tetap ke sekolah dengan almamater yang masih sedikit lembab. Bagaimana bisa lembab? Tentu saja karena dengan bodohnya aku memasukkan almamaternya ke mesin cuci padahal hari ini masih mau dipakai, sepertinya penyakit pelupaku ini makin menjadi membuatku tak hentinya merutuki kebodohanku sendiri dalam hati.
Dengan wajah tertekuk, aku masuk ke kelas meski sama sekali tidak ada mood untuk mengikuti pelajaran namun apa boleh buat? Mau bolos juga sudah terlanjur masuk ke kelas yang ada nanti Hendery mencoret namaku dari absen sekalian. Hah, menyebalkan sekali hidupku ini.
Meski berkali-kali Xiaojun menyuruhku melepas almamater melalui pesan singkat yang ia kirimkan karena takut aku masuk angin, aku sama sekali tidak melakukannya. Tentu aku tidak mau cari masalah kalau sampai ketahuan tidak pakai almamater oleh guru. Bisa-bisa aku dihukum, sekolahku ini memang terlalu disiplin. Kedisiplinan mendarah daging, begitu istilah yang berkembang di sekolahku ini.
Usai mematikan ponselku setelah membalas pesan Xiaojun untuk meyakinkannya kalau aku akan baik-baik saja, aku melemparkan pandanganku ke pintu kelas mencari sesuatu yang menarik guna mengurangi sedikit rasa kesalku.
Namun diluar dugaanku, Hendery memasuki kelas dengan sebuah almamater untuk siswi dipundaknya. Almamater siswa dan siswi memang memiliki perbedaan yang sangat kentara jadi hanya dengan sekilas melihat aku sudah tahu betul bahwa yang dibawa Hendery memanglah almamater untuk siswi.
Aku mengerutkan kening bingung, Untuk apa dia membawa almamater perempuan? Tidak mungkin untuk dipakainya bukan?
Namun sialnya, kaki jenjang Hendery justru melangkah menuju tempat dudukku. "Heh cebol! Nih pake, gue tau almamater lu lembab," Tangannya menyodorkan almamater yang tadi bertengger dipundaknya padaku. Tapi bagaimana bisa anak ini tahu? Padahal aku sama sekali tidak bilang pada siapa-siapa.
Aku yang keheranan mendongak guna menatapnya, "Itu punya siapa? Gapapa, Der, gak usah gue gapapa."
"Gue beli, udah gak usah banyak bacot pake aja. Yang lama jemur dulu diluar, itu jangan dibalikin buat lu aja." Tanpa mau repot-repot menjelaskan lebih detail, Hendery kembali ke tempat duduknya.
Anak itu kenapa sih? Ya sudahlah, dari pada pusing memikirkan kelakuan tidak jelas Hendery aku lebih memilih mengikuti anjuran dari pria blasteran itu.
Aku melenggang menuju bagian belakang gedung sekolah, tempatnya para siswa menjemur pakaian. Kebetulan letaknya tidak jauh dari kelasku, biasanya banyak siswa yang menjemur pakaian olahraganya disini agar kering dari keringat.
Kucari tempat yang paling aman kemudian menyampirkan almamater sekolahku diatas pagar dekat toilet —tempat yang menurutku paling aman karena hembusan angin terhalang tembok, jadi almamaterku tidak akan terbang,— mungkin jam istirahat nanti aku akan kemari lagi untuk mengambilnya.