40 - Masih Ada Harapan?

3.4K 371 146
                                    

Harapan itu ada. Entah itu hari ini, esok atau lusa sekalipun.

***

Dengan penuh derai air mata, Acha memeluk tubuh seseorang yang kini sudah terbujur kaku diatas ranjang pesakitan. Tangannya bergetar untuk sampai memeluk pinggang lelaki bertubuh jangkung itu. Tangisnya pecah begitu saja saat ia menyadari kalau tubuh lelaki di depannya tidak merespon pergerakannya.

Acha menegakkan tubuhnya secara perlahan. Ia meraih tangan dingin Nathan lalu tersenyum getir. Dulu, tangan itu adalah tangan yang selalu siap siaga untuk menghajar orang-orang yang sudah berani menganggu dirinya. Dulu, tangan itulah yang selalu mengusap peluh serta air mata yang turun di pipinya. Dan dulu, tangan itu adalah tangan yang Acha harapkan untuk dapat menghangat kembali. Agar ia bisa menggandengnya dengan bebas. Agar ia bisa merasakan hangatnya genggaman Nathan lagi.

Acha memperhatikan setiap lekuk wajah Nathan yang kini sudah memucat. Layaknya seorang mayat, wajah Nathan pucat pasi seolah sudah tidak ada lagi darah yang mengalir disana. Acha termangu. Akankah ia sanggup menghadapi kenyataan pahit ini? Akankah ia sanggup untuk melepas kepergian saudaranya untuk selamanya? Akankah ia menerima semua takdir yang sudah Tuhan tetapkan? Namun mengapa Acha merasa dunia tidak adil? Mengapa Tuhan harus mengambil orang terdekatnya? Mengapa Tuhan tidak mengambil nyawanya saja?

Tangan Acha terulur untuk membelai rambut lebat Nathan. "Nathan ... lo kok nggak bangun-bangun sih? Gue nungguin loh," lirih Acha dengan suara seraknya.

"Jangan pergi ... gue nggak siap untuk kehilangan lo selamanya. Gue nggak siap buat nerima takdir yang udah Tuhan tentukan. Gue nggak mau kalo Tuhan ngambil lo dari gue, Nath, gue nggak mau..."

Acha menarik napas panjang. Ia mengusap bercak air matanya yang masih mengalir deras. Bibirnya bergetar. Matanya menatap sayu mayat lelaki di hadapannya. "Gue nggak suka liat lo tidur lama banget kayak gini. Lo nggak kangen apa sama gue? Lo nggak kasihan sama gue? Lo tega ngeliat gue nangisin lo tiap harinya?"

Acha menarik ingusnya. "Katanya kalo ada yang buat gue nangis, lo akan siap siaga di samping gue tapi mana buktinya? Bahkan disaat gue merengek sekarang pun lo nggak akan bangun terus bakal nenangin gue, kan?"

"Kenapa sih, harus lo yang Tuhan ambil? Kenapa nggak gue aja? Kenapa harus lo orang yang paling berharga buat gue! Kenapa lo harus pergi secepat ini? Kenapa mendadak? Bahkan, gue belum sempat mengucapkan kalimat perpisahan buat kita..."

Acha terkekeh garing. "Sumpah, lo lucu banget!" lagi, Acha meluruhkan air matanya. "Kalo di ingat-ingat dulu kita kompak banget ya, Nath. Kita selalu pake baju kembar, sepatu kembar, jalan bareng, gila-gilaan bareng. Tapi kenapa sekarang kita kayak orang musuhan gitu ya, Nath?" Acha tertawa sambil mengelap air matanya. "Kira-kira, kita bisa nggak ya kayak dulu lagi? Bermain, bercanda, tertawa lepas tanpa harus mikirin ini itu. Kapan ya gue sama lo bisa make baju kembaran lagi?"

Acha menghembuskan napas lelah. "Jujur gue kangen banget kalo nginget momen dulu. Meskipun terkesan absurd, tapi gue bahagia. Gue bahagia dan bangga punya kakak sekaligus saudara kembar kayak lo, Nath. Lo itu limited edition. Makanya nggak ada yang bisa gantiin lo di hati gue. Btw, gue bucin banget ya." Lagi dan lagi Acha tertawa dengan derai air mata.

Merasa tidak tega, Dara berjalan mendekati Acha. Gadis itu menyentuh bahu Acha membuatnya sedikit tersentak. "Cha, udah dong. Jangan kayak gini terus. Lo nggak kasihan sama Tante Keyla dan Om Arka?"

Story Of The Twins (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang