Part 17

46 13 2
                                    

Pagi yang cerah serta suara kicauan burung yang merdu menyambut sepasang suami-istri yang masih bergelung dengan selimut yang menutup tubuh polos mereka. Sinar mentari pun menerobos masuk melalui celah korden mencari jalan untuk membangunkan pemilik kamar.

Selya membuka mata mengumpulkan kesadarannya, lalu Ia mengingat dengan apa yang telah Ia dan Daniel lakukan. Mengingatnya saja sudah membuat Selya sedih. Sedih karena Ia melakukannya bukan karena cinta, melainkan karena Ia harus memenuhi perjanjiannya dengan Daniel.

Dalam kamar inilah hari-hari Selya berakhir. Dalam kamar ini pagi Selya dimulai. Dalam kamar ini juga Selya harus hidup dan mati. Membuka mata pun hal pertama yang Selya lakukan adalah meneteskan air mata. Penderitaannya baru saja dimulai, tapi mengapa rasanya sudah sangat lama.

Pagi sudah datang. Selya harus segera membersihkan diri dan membantu di dapur. Ia tidak boleh terlalu sedih jangan sampai Ia mengalami depresi karena terlalu berlarut dalam kesedihan.

"Ishhh ...," ringis Selya merasakan sakit pada intinya.

Selya dengan tubuh polosnya yang berbalut selimut hendak memasuki kamar mandi. Namun, baru saja menurunkan kakinya dan hendak berjalan. Selya sudah merasakan sakit sehingga membuat dia kembali duduk ditepian ranjang.

Merasa sudah baik dan tidak terlalu sakit. Selya berdiri dan melangkah, baru satu langkah saja rasa sakit itu menyerang kembali sehingga membuatnya jatuh terduduk di lantai dengan meringis menggigit bibirnya. Apakah setiap perempuan akan seperti ini saat pertama kali melakukannya.

Selya sungguh tidak dapat berjalan, menggerakkan kakinya saja Ia merasakan sakit. Begitu ganas Daniel melakukannya hingga membuat Selya tidak dapat berjalan.

Daniel terganggu akan ringisan seseorang. Membuka mata dan melihat Selya yang terbalut selimut terduduk di lantai sembari menangis.

"Mau aku bantu," tawar Daniel tidak tega dengan keadaan Selya.

Selya menengok ke belakang dan melihat Daniel yang beranjak turun dari ranjang hanya mengenakan boxer.

Belum sempat Selya menjawab pertanyaan Daniel. Ia sudah merasakan dirinya terangkat. Daniel menggendong Selya membawanya ke kamar mandi. Pipi Selya sudah merah menahan malu karena ulah Daniel, tapi mau bagaimana, lagipula Daniel sudah melihat semuanya.

Setelah selesai dengan kegiatan pagi mereka serta bonus plus dari Selya. Kini mereka masih berada di dalam kamar dengan Selya yang duduk bersandar pada kepala ranjang.

"Kau diam saja di sini jangan keluar dan istirahat saja," ucap Daniel saat melingkarkan jam pada pergelangan tangannya.

Selya mengangguk mengiyakan perkataan Daniel. Pagi ini Daniel bersikap sangat baik kepada Selya. Mungkin untuk menebus perilakunya semalam.

"Hera akan membawakan makanan untukmu," ujar Daniel sebelum mengambil tas kerjanya dan melenggang pergi. Tidak ada kecupan yang biasa dilakukan suami ketika akan berangkat bekerja.

Selya menghela nafas lelah, Ia harus segera bertindak untuk merubah Daniel agar menerima dirinya serta melupakan surat perjanjian konyol itu.

Daniel menuruni anak tangga dan berjalan menuju meja makan, di sana Ia melihat Hera yang sedang menginstruksikan pelayan untuk menata hidangan di meja. Sadar akan kehadiran sang majikan Hera menunduk sopan dan menarik kursi untuk Daniel duduki. Akan tetapi, Daniel menggeleng untuk menolak.

"Hera antar 'kan sarapan untuk Selya. Dia tidak akan turun untuk sarapan," titah Daniel yang hanya mendapat anggukan dari Hera.

"Apa tuan tidak sarapan?" tanya Hera.

"Tidak. Aku bisa sarapan di kantor," kata Daniel.

Daniel melangkah meninggalkan meja makan, tetapi sesaat kemudian Ia berbalik dan mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya.

"Jangan lupa untuk memberikan Selya ini," ujar Daniel menyodorkan benda berbentuk kapsul di depan Hera.

"Jika nona bertanya ini apa? saya harus menjawab apa tuan?" tanya Hera.

"Itu vitamin untuk Selya pastikan Ia meminumnya." Daniel berjalan meninggalkan Hera. Menuju pintu keluar.

Di halaman rumah mobil yang akan Daniel gunakan untuk membawanya ke kantor sedang dibersihkan oleh Pak Santos sopir keluarga Haston yang sudah lama bekerja di sana.

Pak Santos membuka pintu kemudi untuk Daniel yang dibalas senyum oleh sang majikan. Setelah menutup pintu dan memasang Seat Belt Daniel yang akan menyalakan mobil pun teringat akan kejadian kemarin di kantor.

"Pak boleh saya bertanya?" tanya Daniel menurunkan kaca mobil agar lebih mudah bertanya.

"Silakan tuan," ujar Pak Santos

"Kemarin saat pulang dari kantor. Apakah nona baik-baik saja?" Daniel bertanya dengan tatapan yang sangat dingin.

"Nona baik-baik saja," ujar Pak Santos meremas kanebo yang berada di tangannya.

Daniel melihat apa yang Pak Santos lakukan pun seakan paham apa yang berada dalam pikiran Pak Santos.

"Saya tidak suka dibohongi, Pak." Daniel menatap Pak Santos.

"T-Tidak ... itu ... itu hanya saja ... nona menangis tuan," gagap Pak Santos.

Daniel mengangguk paham akan apa yang sopir keluarganya bicarakan. Ia menaikkan kaca mobil dan melesat meninggalkan rumah menuju kantor.

Selya terdiam memandang ponsel yang berada dalam genggaman tangannya. Mempertimbangkan untuk menelepon atau tidak ayahnya. Sesungguhnya Selya saat ini merindukan sang ayah. Tetapi akhirnya yang Selya lakukan hanya memandang nanar ke arah ponselnya tanpa melakukan apapun.

Tok tok tok

Pintu kamar diketuk oleh seseorang. Selya pun tersadar dari lamunan ingin Ia membuka pintu, tapi dapat dipastikan Ia akan merasakan sakit. Selya berkata untuk masuk pada orang yang berada di depan kamarnya. Setelah pintu terbuka ternyata Hera yang membawa nampan berisi makanan. Meletakkan nampan tersebut di atas nakas samping Selya.

"Terima kasih Hera," ucap Selya.

"Apakah nona sakit?" Khawatir Hera.

"Tidak. Aku tidak sakit. Aku baik-baik saja," jelas Selya disertai kekehan kecil.

"Baiklah nona jadi sekarang Anda harus makan dan minum vitamin ini." Senyum Hera.

"Vitamin apa?" tanya Selya melirik ke arah nampan yang Hera letakkan.

"Saya tidak tahu tuan yang memberikan kepada saya dan memastikan agar nona meminumnya. Jadi sekarang nona makanlah dahulu." Hera mengambil nampan dan menyendok 'kan nasi ke mulut Selya.

Selya menatap sendok yang diulurkan Hera. "Aku bisa makan sendiri."

Diambilnya nampan berisi makanan tersebut memangku dan mulai memakannya. Hera tidak beranjak dari tempatnya memandang sang nona makan. Selya yang diperhatikan pun mulai merasa tidak nyaman.

"Hera jangan melihatku seperti itu," ucap Selya.

"Kenapa?" tanya Hera dengan muka bingung.

"Aku tidak biasa diperhatikan saat makan, lagi pula aku akan menghabiskan makanan ini jadi kau tidak perlu khawatir," jelas Selya.

"Vit ...."

"Vitaminnya akan aku minum tenang saja," sela Selya cepat sebelum Hera berhasil mengucapkan perkataannya.

"Hera bisa aku minta bantuanmu?" Selya bertanya di sela-sela kunyahannya.

"Silahkan, Nona."

"Tolong kau cuci seprai dan selimut yang berada dalam kamar mandi. Sudah aku rendam dengan air," cicit Selya merasa sungkan kepada Hera.

Hera tidak membalas perkataan Selya. Ia mulai berjalan ke arah kamar mandi seperti apa yang diminta Selya.

Dilihatnya seprai dan selimut yang direndam oleh Selya. Mengangkatnya setengah keluar dari air dan dapat Ia lihat ada darah yang menempel di sana. Hera tersenyum mengerti akan adanya darah tersebut.

***

Happy reading ... maaf jika part ini kurang memuaskan untuk kalian.

Salam sayang dari aku

I L YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang