Bila bisa memilih takdir dan takdir bisa dipilih, aku ingin takdir yang lebih baik. Mencintai dan dicintai, menyayangi dan disayangi, menginginkan dan diinginkan, menghormati dan dihormati bukan kontrak balas budi yang menjanjikan sebuah keuntungan. Aku bukan boneka hidup yang mengikuti permainan tuannya, aku manusia biasa yang memiliki perasaan.
Seharusnya aku tidak perlu mengikuti permintaan Ayah, seharusnya aku menolak perjodohan yang mengatasnamakan bantuan, seharusnya aku kabur saja dari altar saat itu. Tetapi kenyataannya aku lebih memilih diam dan menerima, menutup mata dan telinga dari segala hasutan yang dapat menjatuhkan nama baik Ayah, berusaha mempersiapkan fisik dan mental yang pada realitanya aku tidak siap apapun. Menjalani sesuatu yang tidak aku inginkan hadir dihidupku itu sulit.
Egois bila aku hanya memikirkan perasaanku tanpa memikirkan perasaan Ayah,egois bila aku bahagia tapi Ayah menderita,egois bila aku tertawa tapi Ayah menangis, keegoisan itu akan menghancurkan aku dan aku lebih memilih menuruti permintaan Ayah, meskipun pada akhirnya penderitaan yang kuterima.
Pria itu ... Daniel Haston. Pria yang menerima perjodohan ini dipertemuan pertama kami. Pria yang secara tersirat mengutarakan niatnya menikahiku. Pria yang di malam pernikahan memberikan kontrak yang mengatasnamakan balas budi. Pria yang sehari setelah pernikahan membawaku pergi jauh dari semua orang yang kusayangi. Pria yang meminta seorang makhluk kecil ... dan permintaan itu akankah aku sanggup melakukannya.
Pernikahan impianku bukan seperti yang pria itu bicarakan. Aku merencanakan banyak hal untuk kehidupan pernikahanku, tapi tak satupun dapat kuterapkan dalam pernikahan ini. Pernikahan yang pria itu anggap balas budi, lantas apa yang harus ku harapkan dari pernikahan ini. Dia ... pria arogan, datar, cuek, dingin, dan egois. Kenapa harus aku, kenapa tidak yang lain saja.
"Bisakah kita berangkat besok saja?" ujarku ketika Daniel hanya diam
"Tidak bisa" katanya tegas dengan sorot mata tajam
"Aku mohon." mataku sudah berkaca-kaca dan sebentar lagi air mata ini siap meluncur.
"Aku hanya minta waktu untuk mempersiapkan diri meninggalkan tempat yang sudah membesarkan ku, apakah salah?" runtuh sudah pertahananku untuk tidak menangis, rasanya sesak dan menyakitkan.
"Daniel ... hiks satu hari saja ya, ku mohon." kataku dengan menunjukkan jari telunjuk ku, memohon pun aku lakukan sungguh betapa rendahnya seorang Selya Luois
"Jangan menguji kesabaranku Lya!
kita sudah dalam perjalanan menuju bandara dan aku tidak akan membatalkan penerbangan!" Daniel tetap dengan pendiriannya tanpa memikirkan diriku."Kau ... hiks ... kau pria egois!"
"Aku hanya minta waktu satu hari. Apakah begitu sulit untukmu, kau takkan paham apa yang aku rasakan Daniel!" bentak ku padanya yang sedaritadi diam mendengarkan rengekan ku."Turunkan nada suara mu, aku ini suami mu bila kau lupa fakta itu." desisnya tajam dengan tatapan seperti ingin menguliti diriku.
"Jangan main-main denganku Lya, kau belum tahu betapa egoisnya diriku dan betapa mengerikannya kemarahan ku." geram Daniel yang sudah menambah kecepatannya, menyalip kendaraan satu persatu seperti orang kesetanan.
Tindakannya membuatku menangis semakin sesegukan. Ku gigit bibirku kuat-kuat dan menutup wajahku dengan telapak tangan.
"Da ... hiks ... Daniel aku takut ... hiks ... berhenti aku takut...." lirih ku yang sudah bergetar ketakutan, entah Daniel mendengarnya atau tidak, yang kurasakan adalah kecepatan mobil berangsur melambat dan sesuatu yang besar memegang tanganku kemudian menurunkannya dari wajahku. Kutatap tangannya yang berada di tanganku beranjak ke wajahku, mengusap air mata yang merebak keluar dengan deras.
"Diam dan menurutlah, maka kau akan aman," ujarnya sebelum fokus kembali ke jalanan
Halo... Jangan lupa voment yh, kritik dan sarannya aku tunggu
KAMU SEDANG MEMBACA
I L Y
ChickLitCerita ini sudah tamat di NovelToon dengan judul dan cover yang sama. "Tiga kata yang inginku dengar, tapi mungkin itu hanya mimpi yang entah kapan akan terwujud, terus menanti dan menanti, bertahan pada sebuah keyakinan hati." Selya Lous. Kisah a...