Keesokan harinya.
Di sinilah Brian berada, di lobi perusahaan milik sahabatnya Daniel untuk melaksanakan perintah Winda. Wanita tersebut benar-benar gila dia memasangkan alat untuk mendengar perbincangan antara Brian dan Daniel. Winda tidak mau mengambil resiko bila Brian meminta bantuan dari Daniel.
Sementara Brian menemui Daniel. Winda berada dalam mobilnya yang terparkr tidak jauh dari dari area perusahaan. Ia dengan tenang bersiap mendengar perincangan yang sangat Ia nantikan. Rencananya sudah terrsusun rapi hanya demi seorang pria yang dulu Ia khianati Daniel Haston.
Brian mengikuti Kiran untuk sampai di ruangan Daniel. Melangkah dengan tenang, tatapannya mengarah lurus ke depan. Namun, hatinya risau Ia akan menambah jarak ketegangan diantara dirinya dengan Daniel. Sampai saat ini bahkan Daniel belum mau bertemu dengannya. Ia sudah berkali-kali meminta maaf atas kesalahannya, tapi Daniel seakan bersikap tidak mau tahu. Daniel menutup semua akses terhadap Brian membuat Brian pasrah akan sikap Daniel. Ia tidak menyalahkan sang sahabat, melainkan menyalahkan dirinya sendiri.
Diketuknya ruangan Daniel oleh Kiran. Sahutan dari dalam yang mengijinkan mereka masuk. Tiba dihadapan Daniel, Kiran segera meminta izin undur diri. Kini hanya ada Daniel dan Brian yang saling berhadapan dalam keheningan.
"Gimana kabar lo?" tanya Brian mengawali.
"Baik." Singkat, padat, jelas.
"Gue mau meluruskan kesalahpahaman di masa lalu." Brian tidak gentar meski mendapat respon yang datar dari Daniel. Ia harus menyelesaikan segalanya dan hidup tenang tanpa gangguan siapapun.
"Hmm," gumam Daniel.
"Gue hanya ingin lo tahu bahwa Winda tidak terlibat di masa lalu kita. Dia hanya korban, gue gak rela jika lo bahagia sama dia, maka dari itu gue rebut winda dari lo," jelas Brian.
Winda tersenyum mendengar perkataan Brian yang sesuai dengan apa yang Ia minta.
"Ada lagi?" tanya Daniel, raut wajahnya tidak dapat ditebak.
"Kalau lo mau membenci silahkan benci sama gue jangan Winda. Dia hanya korban keegoisan gue." Brian melihat Daniel yang hanya mengangguk tanpa membalas perkataannya.
Brian kembali berkata. "Dia di sini ingin ketemu sama lo, tapi Ia ragu karena dia tahu lo sangat membencinya."
Daniel memandang sang sahabat yang menunjuk dasinya. Meminta Daniel untuk melihat benda yang berada di dasinya. Daniel yang bingung apa yang berusaha Brian katakana pun ingin mengeluarkan suaranya. Namun, dihalangi oleh gelengan kepala Brian, membuat Daniel semakin bingung.
"Winda gadis baik, Niel. Gue yang bodoh sudah menghancurkan hubungan kalian berdua." Brian berkata dengan mata putus asa.
Daniel sangat bingung dengan sikap Brian. Apa yang sedang terjadi? Mengapa Brian menunjuk dasinya? Bagaimana Brian bisa berpikir seperti itu? Semua pertanyaan hinggap di kepala Daniel membuatnya menuntut penjelasan dari Brian, tetapi setiap ingin menanyakannya selalu gelengan yang Daniel dapat, sehingga Daniel memberikan buku dan bolpoint dihadapan Brian agar pria tersebut menuliskan maksud perkataannya.
Brian yang menerima kedua benda tersebut segera menuliskan sesuatu. Sementara Winda gelisah karena tidak lagi mendengar percakapan kedua pria tersebut memutuskan menelepon Brian. Ponsel Brian bergetar membuatnya menghentikan gerakan tangannya dan merogoh saku celananya. Setelah membaca nama siapa yang tertera di layar ponselnya segera Ia matikan.
Mungkin Winda sudah mulai curiga. Gumam Brian.
"Ekhm ... Daniel lo bisa kan ketemu Winda sekali saja," Daniel kembali memasang wajah bingungnya terhadap perkataan Brian.
Brian kembali menulis dengan mulut yang tiada henti mengeluarkan kata.
"Kasihan Winda. Dia sudah seperti orang gila,"
"Gue tahu lo udah punya istri, tetapi setidaknya lo jangan benci sama Winda, bagaimana pun dia pernah menempati ruang hati lo," Brian tidak berhenti berkata dengan tangan yang sibuk menulis, setelah selesai Ia serahkan kertas tersebut ke arah Daniel agar dibaca.
"Brian kenapa tidak diam dan kenapa Daniel tidak menanggapi perkataannya? Akhh ...," resah Winda yang tak kunjung mendengar suara Daniel.
Winda ada di sini tidak jauh dari perusahaan lo. Dia memberi alat untuk mendegarkan setiap perkataan kita. Semua yang gue katakana tadi hanya karena diperintah Winda. Dia wanita licik lo harus hati-hati. Dalang dari masa lalu kita adalah winda. Dia yang menghancurkan semua termasuk mengkhianati kita berdua dan mengambil alih sebagian saham kita. Gue kasih tau lo, agar lo bisa menghindar dari dia kalau bisa lo harus bertindak karena dia tau lo udah punya istri dan pasti dia tidak akan tinggal diam tanpa menyentuh istri lo itu. Tulis Brian.
Dugaan Daniel selama ini ternyata benar bahwa Winda yang berada dibalik semua ini. Daniel ingin memaki, tetapi isyarat dari Brian untuk bicara membuatnya mengurungkan niat memaki Winda.
"Winda di mana?" Jijik sungguh jijik Daniel mengatakan nama wanita pengkhianat.
"Apartemen, lo masih inget, 'kan?"
"Iya."
"Gue harap lo gak salah jalan untuk sampai di apartemen Winda." Ada makna tersirat dari perkataan Brian dan Daniel dapat menangkap makna tersebut.
Setelah selesai dengan apa yang ingin Brian sampaikan. Ia pamit undur diri karena ada pekerjaan penting. Daniel hanya mengangguk tanpa mengantar sang sahabat keluar dari ruangannya. Brian berjalan keluar hingga memasuki mobilnya, sebelum meninggalkan parkiran Ia terlebih dahulu menghubungi Winda.
"Gue udah lakuin apa yang lo suruh dan berhenti mengganggu hidup gue," kata Brian setelah sambungan telponnya terhubung.
"Tenang saja gue gak bakal ingkar janji." Senyum Winda.
Klik
Brian mematikan telponnya dan mulai mengendarai mobil keluar parkiran menuju perusahaannya. Brian berharap setelah memberitahu Daniel, maka pria itu akan berhati-hati dengan kehadiran Winda. Ia juga berharap Daniel dapat membuat perhitungan dengan wanita tersebut.
Winda tersenyum senang karena rencananya berjalan mulus tanpa hambatan. Langkah berikutnya Ia harus melibatkan Varo agar tujuannya cepat terwujud. Winda segera menelepon Varo dan meminta bertemu di restoran. Varo menolaknya karena sibuk, tetapi setelah mendengar suara tangis Winda. Pria tersebut tidak tega dan akhirnya menyetujui bertemu.
Varo tiba di restoran. Dirinya mengedarkan pandangan mencari keberadaan Winda hingga manik matanya menangkap seseorang yang menundukkan pandangannya berada di pojok restoran tempat yang jarang dipilih orang.
"Sorry telat," kata Varo duduk dihadapan Winda.
Winda mengangkat kepalanya sehingga Varo bisa melihat wajah Winda basah oleh air mata.
"Hei ... kenapa hmm ... cerita sma aku," ujar Varo.
"Daniel benci banget ya sama aku sampai gak mau lihat wajahku," lirih Winda.
Varo meraih tangan Winda untuk Ia genggam. Berusaha memberi kekuatan terhadap wanita yang terlihat rapuh dihadapannya, ingin sekali Ia peluk. Namun, Ia cukup tahu diri.
"Jangan sedih aku akan membujuk Daniel agar menemuimu," kata Varo.
Winda hanya mengangguk sesekali menghapus lelehan air mata yang keluar.
"Tapi kamu tidak bisa kembali bersama Daniel."
"Apa maksudmu?" tanya Winda berpura-pura syok atas apa yang Varo katakana.
"Dia sudah menikah Winda. Aku harap kamu tidak berusaha merusak hubungan Daniel dan istrinya," ujar Varo.
"D-dia tega hiks ... ka-ta nya dia a-kan hiks menikah denganku." Winda semakin menangis dihadapan Varo agar mendapat simpati darinya.
"Huust ... jangan menangis mungkin Daniel bukan jodomu,"
"Tapi aku masih bisa bertemu dia, 'kan?"
"Aku janji akan mempertemukan kalian."
***
Happy reading.Aku up lagi nih. Hayo angkat tangan yang silent readers. Haha engga pp aku terima kok.
Salam sayang dari aku
KAMU SEDANG MEMBACA
I L Y
ChickLitCerita ini sudah tamat di NovelToon dengan judul dan cover yang sama. "Tiga kata yang inginku dengar, tapi mungkin itu hanya mimpi yang entah kapan akan terwujud, terus menanti dan menanti, bertahan pada sebuah keyakinan hati." Selya Lous. Kisah a...