Mama berusaha menghentikan Selya yang ingin segera melihat Daniel. Selya baru saja sadar dari pingsannya, Mama takut menantunya tidak bisa menerima situasi dan drop karenanya. Bagaimana pun Selya adalah istri anaknya, ia berhak melihat keadaan Daniel, meskipun kekhawatiran tergambar jelas di wajah mama. Keresahan Selya membuat mama tidak tega dan akhirnya membawa Selya ke rumah sakit
Rumah sakit adalah tempat terburuk. Kenangan menyakitkan tidak bisa dilupakan mengenai tempat itu. Mémori kelam masa lalu masih terpatri di sana. Kenapa harus tempat itu yang menjadi sumber kesedihan di setiap ingatan Selya. Suaminya ... di dalam saja tengah berjuang hidup. Menurut orang yang membawa Daniel ke rumah sakit, kecelakaan tersebut terjadi karena mobil sang suami berusaha menghindari orang yang tengah menyebrang, tapi naas mobil Daniel malah menghantam pembatas jalan.
Pagi tadi bahkan mereka baru saja mengunjungi rumah sakit, tetapi sekarang ia kembali lagi untuk meminta kepastian, kepastian hidup suaminya. Ingin sekali Selya menerobos masuk ruang yang tertutup rapat di depannya ini. Memaki sang dokter yang tidak kunjung keluar membuatnya frustasi.
"Sayang, Daniel tidak apa-apa. Percaya sama Mama. Mama ibunya, mama lebih tau." Mama berbicara dengan begitu tenang, padahal beberapa saat lalu mama juga sama terkejutnya dengan Selya saat menerima kabar mengenai Daniel.
"Ma, tolong sadar. Di dalam sana ada Daniel anak mana yang berjuang untuk hidup. Mama jangan begini ini, aku tau mama terguncang, tapi aku mohon, Ma. Terima semua ini dengan lapang dada." Keluar sudah kekesalan Selya. Ia tidak bermaksud melampiaskan ke mama. Ia kalut, pikirannya kacau.
"Karena Daniel anak mama, jadi Mama lebih tau apa yang terjadi dengan anak Mama," ucapnya bersih keras tidak ada hal buruk menimpa Daniel.
"Ma, Selya mohon berhenti meracau. Kita seharusnya berdo'a untuk keselamatan Daniel bukan menyangkal sesuatu yang sudah terjadi." Berusaha menyadarkan Mama yang nampak termenung menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.
Mama mendengar dengan baik yang Selya ucapkan, tetapi mama lebih memilih diam, tidak ingin berdebat dengan Selya yang akan berakibat fatal pada kandungan Selya. Mereka melihat dengan sudut pandang yang berbeda.
Ceklek
Pintu terbuka. Selya dan Mama segera menghampiri dokter.
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Selya.
Dokter menggeleng. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Pasien telah meninggal dunia."
Bagai tersambar petir di siang hari. Selya mundur memegang dinding. Air matanya turun. Nyawanya seakan melayang. Daniel, suaminya, ayah anaknya, telah tiada dengan cara seperti ini. Selya tidak percaya.
"Tidak! apa yang dokter katakan itu bohong! Daniel!" teriak Selya memanggil nama suaminya. Menarik jas dokter dan memukul dokter tersebut. Selya berteriak histeris tak kala para suster keluar dengan mendorong brankar yang Selya yakini ada Daniel di sana, wajahnya tertutup kain rumah sakit. Menandakan pasien memang sudah meninggal.
Selya menghentikan pergerakan suster. Ia mendekat ranjang tersebut. Tangannya terulur menggoyangkan bahu Daniel. Menyalurkan ketakutannya di setiap usahanya membangunkan sosok tertutup kain.
"Bangun Daniel! bangun! aku bilang bangun!" Histeris Selya.
Mama mendengar perkataan Selya, ia terkejut melihat sikap Selya yang hilang kendali. Mau percaya atau tidak, keberadaan mayat di depannya membuat pertahanannya sedikit goyah. Mama mendekati Selya dan membawa wanita itu ke dalam rengkuhannya. Menenangkan Selya yang sedari tadi menangis, meskipun dirinya juga masih shock.
"Ma, Daniel ... tidak mungkin, katakan ini bohong. Dia tidak mungkin meninggalkan Selya dan anak kami. Dia berjanji akan melindungi Selya. Ma! katakan! mengapa secepatnya ini. Daniel!" teriakan dan pemberontakan dilakukan Selya agar terlepas dari rengkuhan sang mertua.
"Dia pernah bilang kalau Selya harus berjuang mendapatkan hati Daniel. Katanya Daniel akan memberikan hal yang tidak akan membuat Selya berpaling. Sekarang apa Ma. Dia pergi dengan begitu mudahnya, meninggalkan hati ini yang masih mencari tempat untuk menetap," tangis Selya tidak terbendung lagi.
Kebersamaan mereka berhenti di sini. Perjuangan Selya sudah tidak ada artinya. Tujuannya mendapat ruang hati suaminya malah menerima luka yang teramat sakit. Pria yang ia cintai. Pria yang belum lama ini menjadi suaminya. Pergi meninggalkan ia seorang diri. Bagaimana Selya melewati masa kehamilannya tanpa ada sosok suaminya.
"Berhenti, Nak. Sudah jangan menangis, kamu tidak kasihan sama baby. Dia pasti merasakan kesedihan dirimu," ujar Mama.
Mama sama terpukulnya dengan Selya. Hanya saja ia tidak boleh egois. Selya lebih membutuhkan dukungan darinya.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Suara tersebut terdengar familiar di telinga kedua wanita tersebut. Memalingkan wajah, seketika mereka terkejut.
"Daniel!" serentak Selya dan Mama.
Tidak dapat dipercaya. Daniel ada dihadapan mereka berdua tanpa luka sedikitpun. Jika ini Daniel, lantas siapa pria yang meninggal ini.
Bukh
Mama memukul lengan anaknya.
"Kamu ngerjain Mama, ya. Mau buat Mama jantungan. Kamu mikir gak, istri kamu sampai histeris mengira kamu udah mati. Dasar anak nakal." Mama menjewer telinga Daniel. Ia senang sekaligus kesal terhadap anaknya. Air matanya sesekali menetes dan berusaha ia seka. Anaknya baik-baik saja dan ada dihadapannya. Insting ibu tidak pernah salah.
"Sakit, Ma. Lepasin dulu, nanti Daniel ceritain," ujarnya. Mama menuruti perkataan Daniel.
"Sini sayang. Pukul tuh suami kamu yang gak ada akhlak," ucap Mama.
Selya menubruk dada bidang suaminya. Memeluk erat Daniel tidak perduli dengan tatapan orang yang melihat mereka. Ia hanya ingin memastikan jika sosok yang berada dihadapannya benar suami yang ia kira sudah meninggal.
"Jahat, kamu jahat tau gak. Jahat banget sih jadi suami. Seneng ya liat aku nangis karena kamu. Sana pergi aku kesel sama kamu." Anehnya Selya semakin mempererat pelukannya. Enggan untuk melepaskannya, meski sudah berkata demikian.
Mama dan Daniel terkekeh mendengarnya.
"Daniel ajak Selya duduk kasian dari tadi berdiri," ujar Mama. Daniel pun mengajak Selya duduk di bangku rumah sakit.
"Dokter, silakan melanjutkan tugas Anda, maaf atas hambatannya." Dokter mengangguk dan suster kembali mendorong brankar tersebut.
"Tadi aku ada ada pertemuan mendadak dengan klien, karena terburu-buru aku memilih menggunakan mobil perusahaan dan meminta salah satu karyawan untuk mengantarkan mobilku. Ternyata ada yang menyabotase rem mobil hingga kecelakaan itu terjadi," jelas Daniel. ia pun baru mendengar penjelasan dari polisi yang menangani kecelakaan tersebut. Ternyata Tuhan masih menyayangi nyawa Daniel.
"Lalu bagaimana dengan telpon yang Selya terima," ujar Mama mengutarakan apa yang ada dibenaknya.
"Aku meninggalkan ponsel di mobil, mungkin ada seseorang yang menemukannya dan tidak sengaja memberitahu kabar yang salah," ucap Daniel.
Selya diam tidak menanggapi penjelasan Daniel, bagi Selya melihat Daniel dalam keadaan baik sudah membuatnya lega. Dirinya masih terlalu shock dengan kejadian hari ini. Tubuhnya pun lelah, apalagi ia sempat pingsan.
"Ma, lebih baik sekarang ajak Selya pulang. Aku masih harus mengurus jenazah dan memberitahu kabar duka ini kepada keluarganya. Bagaimana pun dia salah satu karyawanku." Mama mengerti, lagipula berada di rumah sakit terlalu lama tidak baik bagi Selya.
"Baiklah. Selya harus istirahat." Mama berusaha melepaskan pelukan Selya. Namun, Selya menggeleng tidak mau dipisahkan dengan Daniel.
"Lepas, ya. Kamu pulang sama Mama. Aku tidak akan lama hanya sebentar. Please understand for now." ujar Daniel selembut mungkin, takut menyinggung perasaan Selya.
Secara perlahan pelukan mereka terlepas. Selya hanya diam ketika mama mengajaknya meninggalkan rumah sakit.
***
Happy reading.Jalan ceritanya membingungkan, ya. Para readers tolong dimaklumi masih pemula kalau bisa tolong kasih krisar hehe 🤭
Jangan lupa vote and comment.
Salam sayang dari aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I L Y
ChickLitCerita ini sudah tamat di NovelToon dengan judul dan cover yang sama. "Tiga kata yang inginku dengar, tapi mungkin itu hanya mimpi yang entah kapan akan terwujud, terus menanti dan menanti, bertahan pada sebuah keyakinan hati." Selya Lous. Kisah a...