33.

18.4K 1.5K 33
                                    

          Lou menginjak rem mobilnya kuat, berusaha menepikan mobilnya. Tak mempedulikan Kartyva yang meringis karena tertekan oleh seatbelt, pria itu melayangkan tatapan tajam bercampur penasaran.

Sejak mereka pulang, Kartyva terlihat tidak bersemangat bahkan mengacuhkannya. Perempuan itu juga menepis tangan Lou ketika Lou menempatkannya di atas paha Kartyva, hal yang tak pernah Kartyva lakukan sebelumnya.

"Aku ingin bertemu dengan putriku," jawabnya asal. Sejak tadi ia memang tidak menjawab atau mempedulikan Lou yang terus bertanya.

"So this why you are crying?" Kartyva memang tidak menangis secara terang-terangan tetapi matanya yang sembab dan berair menunjukkan sebaliknya.

"Aku tidak menangis!" elaknya tanpa menatap Lou. Make up yang perempuan itu kenakan bahkan hampir luntur. "Kau menangis."

"Tidak!"

"Baiklah, matamu hanya berair," suaranya diturunkan satu oktaf, berusaha untuk mengalah.

Tak ingin memperpanjang masalahnya, Lou lebih memilih untuk mengubah rute perjalanan mereka menjemput Earby terlebih dahulu sebelum pulang.

Lou memang memaksa Kartyva untuk menginap di rumahnya, hanya untuk sementara karena besok Nyonya Spencer akan datang ke rumahnya.

Setelah menjemput Earby dan pulang akhirnya Lou baru bisa sedikit tenang. Kartyva tidak lagi menangis setelah bertemu dengan Earby, mungkin perempuan itu memang merindukan putrinya.

Ia baru saja akan menutup pintu kamar Kartyva setelah memastikan perempuan itu baik-baik saja tetapi ternyata Kartyva sudah lebih dulu keluar dan berdiri di depannya.

"Berapa lama kontrak kita, Lou?" tanyanya tanpa menatap mata Lou.

Lou menyerngit heran. Kenapa tiba-tiba menanyakan perihal kontrak?

"Lima bulan."

Tampak Kartyva tersenyum kecil, "Tersisa dua bulan, bagus."

Bagus? Apa perempuan itu senang karena sebentar lagi ia akan terlepas dari Lou? Jujur saja Lou sedikit tidak suka mendengarnya.

"Apa kau masih lapar?" Lou terpanah, sejenak terdiam mencerna apa yang terjadi dengan Kartyva.

"Tidak."

"Biasanya kau akan bersikap seperti ini ketika lapar." Jika memang iya maka Lou akan membelikan perempuan itu makanan.

"Aku tidak lapar, sebaiknya kau pergi tidur."

Ibu jari dan telunjuk Lou membawa dagu Kartyva mendekat, "Look me in the eye when I speak to you–"

Tetapi Kartyva langsung menepisnya kuat dan hampir berteriak ke arahnya. "Tidak mau! Bagaimana jika aku tidak mau? Kau akan marah, iya? Melemparku keluar atau mengusirku? Lakukan, silahkan!"

Teriakkan Kartyva ternyata membangunkan Earby. Jangankan Earby, Lou saja terkejut mendengar Kartyva berteriak.

Terlihat anak itu keluar dengan pakaian tidur dan boneka berukuran sedang dalam pelukkannya, berjalan mendekati Kartyva. "Mommy, Earby ingin tidur dengan daddy.

"Earby tidurlah, mommy akan menyusul masuk," sahut Kartyva menyuruh Earby untuk kembali tidur.

"Earby ingin tidur bersama daddy."

Mendengar itu Lou langsung berjongkok dan mengulurkan kedua tangannya seolah menyambut Earby. "Kemarilah."

Seketika Earby mendekat, Kartyva langsung menahan anak itu dengan nada yang meninggi. "Tidak! Earby masuk ke dalam kamarmu!"

Ini bukan Kartyva...

Benar-benar bukan Kartyva. Kartyva yang ia kenal tidak pernah membentak putrinya sendiri seperti itu.

"Tilie!" tegur Lou sembari merebut Earby dari Kartyva dan menggendongnya karena Earby terlihat akan menangis.

Tanpa persetujuan Kartyva, Lou langsung membawanya pergi menuju kamarnya. Setelah memastikan Earby tenang, Lou baru keluar untuk menemui Kartyva lagi.

"Ini bukan Tilie yang ku kenal. Apa yang terjadi denganmu?" Lou menatapnya tak percaya.

"Tidak ada, kembalikan putriku."

"Tidak sampai kau tenang. Apa yang kau inginkan?" Tangannya terulur menyentuh pundak Kartyva, berusaha untuk menenangkan perempuan itu.

"I'd like you to get your hands off me dan kembalikan putriku!"

Lou benar-benar tidak mengerti. Kartyva berubah dalam sekejap dengan alasan yang tidak jelas. "Apa yang salah denganmu?"

Bukankah sekarang seharusnya Lou yang marah karena mungkin Kartyva menyembunyikan sesuatu darinya?

"Yang salah denganku?" tawa sumbang menghiasi wajah Kartyva, "Aku tidak bisa melakukan ini lebih lama."

Kali ini Lou benar-benar tidak mengerti, mata Kartyva kembali berair. Lou bahkan tidak membentak atau memarahinya.

"Terkadang kau memperlakukanku dengan begitu manis hingga aku lupa siapa diriku, itu tidak ada di dalam kontrak! Dan terkadang kau memperlakukanku sebagai sampah!"

Sampah?

"Aku tidak pernah memperlakukanmu sebagai sampah." Lou menyerngit heran tak paham dengan perkataan Kartyva barusan.

"Ya kau melakukannya, kau membuangku seperti mainan rusak yang tidak kau inginkan lagi ketika kau bertemu dengan perempuan lain! Kau membuangku begitu saja Lou..."

"Kau membuangku...." lirihnya dengan nada panjang sambil sesekali berusaha untuk melemparkan pukulan ke arah Lou.

Dengan cepat Lou menahan tangan Kartyva berusaha mengerti maksud perempuan itu. "Aku tidak pernah membuangmu."

"Apa kau mencintai Iveagh?" tanya Kartyva. Memang kali ini ia lebih mendominasi pembicaraan.

Apa yang Kartyva harapkan? Lou menjawabnya? Tentu tidak.

"Jika iya maka kembalilah kepada Iveagh, lalu kita akhiri kontrak bodoh ini. Aku akan mengembalikan sebagian uangmu atau menggantinya."

Kartyva menteskan air mata lagi tapi buru-buru mengusapnya. "Mari kita akhiri saja semua ini."

Hanya ada satu pertanyaan Lou yang sangat ingin ia tanyakan, "Kau ingin mengakhiri kontrak kita?"

"Ya."

"Kau harus membayar ganti ruginya," tegas Lou mengingatkan Kartyva tentang pembatalan kontrak secara sepihak.

"Tidak masalah," jawabnya tak kalah tegas tanpa berpikir lebih dulu seolah keputusan itu memang sudah bulat.

Kali ini Lou takut, ia takut jika apa yang Kartyva katakan barusan memang benar keinginannya. Lou takut jika Kartyva benar-benar akan membatalkan kontrak mereka.

Bukan Kartyva yang membutuhkan Lou di sini tapi Lou yang membutuhkan perempuan itu.

"Tidurlah ini sudah malam, jika kau lapar, ketuk saja pintu kamarku," Lou menatap Kartyva dengan lekat, "Pikirkan kembali keputusanmu dan besok pagi beritahu aku. Malam ini Earby akan tidur bersamaku, aku tidak bisa meninggalkannya denganmu."

Mata Kartyva memang memerah tapi mata Lou menunjukkan sorot kemarahan bercampur kesedihan. Ia hanya tak menunjukkannya.

"Tenangkan dirimu sendiri. Aku tau kau marah tapi tidak seharusnya kau membentak anakmu, Tilie karena dia tidak bersalah."

Sejenak mereka sama-sama membisu, larut dalam ego masing-masing sebelum Lou lebih dulu mengalah, merengkuh tubuh Kartyva, memeluknya erat berusaha menenangkan perempuan itu.

Beruntungnya kali ini Kartyva tidak menolak, ia hanya diam memejamkan matanya mendengarkan perkataan Lou yang menyayat hatinya.

"Jika keputusanmu memang sudah bulat, maka pengacaraku akan segera mengurusnya."

Twinkle With TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang