Part 1

30.1K 900 43
                                    

Perasaan yang seharusnya sudah mati beberapa tahun yang lalu kini kembali membuncah, aku sadar perasaan itu memang belum sepenuhnya beranjak.

Senyuman itu pernah membuat hatiku menghangat, dan menjadi alasan sebuah kebahagiaan. Kini senyum itu bukan lagi untukku, mengingatnya membuat dada ini berdebar sesak.

Sosok bidadari cantik kini telah berdiri disampingnya dengan senyum merekah, gadis itu tampak bahagia dan anggun dengan kebaya klasik panjang dusty pink yang manis, gadis itulah yang beberapa menit  lalu menyisipkan cincin di jari manisnya. Gadis yang kini bertahta di hatinya, ruang yang mungkin dulu pernah aku tempati.

Aku tidak tahu, apakah benar ruangan itu sudah habis tak tersisa lagi untukku atau mungkin memang tidak pernah ada aku di dalamnya. Seharusnya aku sadar dengan tamparan kenyataan ini. Aku muak dengan hati yang belum benar-benar melepasnya.

Delapan tahun bukan waktu yang singkat untuk membunuh setiap kenangan dan rindu yang tersisa, semua masih terurai jelas, aku belum benar-benar melupakannya. Akulah si bodoh yang masih  berharap dan menunggu kehadirannya. Kini Sudah waktunya aku membunuh harapan itu.

"Lo... gue ajak kesini bukan untuk berdiri kayak patung, mau nyusun rencana jahat ya?" tegur Agil memecah lamunanku, laki-laki inilah yang memaksa ku untuk datang ketempat ini.

"Sialan.. lo," desisku terdengar umpatan, entahlah rasanya ingin sekali aku mencakar wajah Agil sudah membuatku berada didalam situasi ini, situasi yang membuatku mengakui kegagalanku melupakan seseorang.

"Lo.. diam aja kayak orang bego, makanan banyak di anggurin. Makan gih.. mau gue ambilin atau gue suapin." tuturnya dengan nada mengejek.

"Diam.. lo!" aku harus mempunyai kesabaran yang ekstra untuk menghadapi seorang Ragilang Hilmawan.

"Heh... lo ngeri kalau lagi laper, lo makan gih. Gue takut lo khilaf bawa kabur tunangan orang," bisiknya di ikuti kekehan.

"Jahat .. lo," bibirku mencebik, aku yakin air mata sudah menggenang, mungkin sebentar lagi akan terurai. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Agil, dia segera merengkuhku dalam pelukannya.

"Maaf...," tuturnya lirih.

"Gue bawa lo kesini supaya lo sadar, dia bukan milik lo lagi Fay, hidup akan terus berjalan, lo enggak bisa begini terus," ungkapnya lembut.

Segera kulepaskan pelukan Agil dan menatapnya sinis."Lo... pikir gue masih mikirin dia, gue udah lupa kali."

Agil tersenyum,"Anggap aja gue percaya."

Agil menarik tanganku dan membawaku berbaur dengan yang lain. Sebenarnya aku agak malas ditengah keramaian. Tapi melihat senyum merekah dari teman-temanku SMA, membuatku sedikit tidak menyesal sudah datang ke acara ini.

"Fayni...," panggil Rara dengan senyuman cerahnya.

"Gue kira lo enggak datang?" ucapnya menggenggam tanganku erat, aku bisa melihat kekhawatiran dari sorot matanya.

"Enggak mungkinlah gue lewatin makan gratis," kataku dengan senyuman, tentu saja pura - pura tegar sangat diperlukan saat ini.

"Gue kira lo yang berdiri disana Fay...," tutur Fifi lirih.

Aku kembali terseyum miris, mataku  menangkap sosok Revan yang tengah sibuk menyapa  tamu.

"Gue denger Revan udah lama pacaran dengan Carisa, berati udah lama dong, lo nggak sama dia?" kini giliran Dina yang bersuara.

"Dah lama banget, udah basi juga,"jawabku tersenyum getir. Lebih tepatnya setelah dua tahun kita lulus SMA dia mutusin gue.

Sayang kalimat itu hanya tercekat di tenggorokanku.Tak mungkin aku akan membagikan kisah pilu, cukup Agil dan Rara yang memang sudah mengetahuinya.

Bring My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang