Part 26

8.5K 520 22
                                    

Keputusanku sudah bulat untuk mempertanyakan semuanya. Di sinilah sekarang aku berada tepat di depan pintu apartemen Revan. Lelaki itu menyuruh aku menemuinya di apartemen selepas pulang kerja.

Aku sempat keberatan, kenapa harus di apartemennya? Kenapa tidak di tempat lain, caffe, restoran, atau tempat umum lainnya. Namun Revan menolak, karena tidak ingin berdebat dalam sambungan telepon, akhirnya aku menyetujuinya, toh ini bukan pertama kalinya aku bertandang ke apartemennya.

Tubuhku gemetar, saat pintu berwarna hitam itu terbuka. Mata setajam elang itu langsung menyorotiku.

"Masuk!" Perintahnya datar.

Sedikit kikuk, aku melangkah ke apartemen, aroma maskulin yang menenangkan langsung menguar.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tanpa basa basi, tidak bisakah dia mempersilakan aku duduk lebih dahulu. Tapi tak apalah, aku juga ingin semuanya cepat selesai.

Aku langsung menyodorkan buku album, namun alih-alih menerima, ia justru memasukkan tangannya kedalam saku.

Sabar.

"Bisa menjelaskan tentang ini?" Aku bertanya dengan nada sehalus mungkin.

"Apa yang ingin kamu tahu?" Ujarnya dingin seakan kehadiranku mengganggunya.

"Kenapa kamu masih menyimpan semua foto ini? Untuk apa?"

Dia tertawa sinis, seolah pertanyaanku sebuah lelucon,"Aku bukan orang yang suka melenyapkan barang milik orang lain, Fay."

Rasa kesal mulai menyelimutiku, apa karena jawabannya tidak sesuai dengan keinginanku.

Aku mengambil napas kasar,"Baiklah, dan untuk ini, apa maksudnya?" Tanyaku sambil menunjukkan tulisan yang ada pada buku album tersebut.

"Apa kamu ingin bernostalgia kembali ke masa lalu, Fay?" Revan tersenyum miring.

Sudah sampai disini, aku tak ingin berakhir sia-sia, meski terlambat, aku harus mengetahui semuanya.

"Aku tidak ingin menerka-nerka lagi, semua harus jelas, Van. Termasuk, kenapa dulu kamu ninggalin aku?"

Wajah Revan berubah tegang, matanya menyorot tajam.

"Kenapa pada hari itu, kamu tidak mempertanyakannya?"

Aku menatapnya sendu, bagaimana mungkin aku bisa mempertanyakannya? Bahkan untuk mengeluarkan suara saja aku tidak sanggup.

"Bisakah kamu hanya menjawab pertanyaanku?" Pintaku parau

Revan melangkah mendekat, masih menatapku lekat,"Baiklah Fay, kalau kamu ingin bernostalgia ke masa lalu," suaranya terdengar datar.

Ia terlihat ragu melanjutkan kalimatnya, namun sebuah pertanyaan kembali meluncur, kali ini cukup membuatku terkejut,"Apa kamu pernah menganggapku sebagai priamu, Fay?"

Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dulu aku menganggap dia  segalanya. Bukan sekedar kekasih, dia menempati posisi penting di hatiku.

"Dulu, kamu duniaku, Van," ungkapku jujur, dengan mata nanar.

"Kamu yakin?" Tekannya terselip keraguan yang kentara, kali ini ada sorot luka dari binar matanya. Aku tidak menyukai sorot itu, mungkin kedengaran gila, tapi cintaku lebih kuat dari rasa benci atau apapun. Melihat wajahnya dirundung luka hatiku lebih tersayat.

Tangan besarnya memegang pipiku dengan gerakan lembut ia mengusapnya perlahan. Kupenjamkan mataku menikmati getaran aneh yang sulit kuuraikan.

"Aku pernah mencintaimu, Fay. Sangat," ungkapnya dalam.

Bring My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang