Part 17

7.5K 454 13
                                    

"Aku tidak menyangka kamu akan tumbuh menjadi gadis seperti ini, hentikan! Jangan buat malu dirimu sendiri!" Setelah mengucapkan kalimat tajam itu, papa beranjak pergi.

Air mataku kembali luruh, untuk kesekian kalinya aku bergelung di dalam selimut, dan menggigit bantal untuk meredam tangisku. Apakah aku harus diam, ketika wanita itu masih mengusik mama. Kenapa papa menjadi orang asing? Aku tidak boleh seperti dulu, lemah. Ucapan papa tidak akan berarti apa-apa, aku harus melanjutkan rencanaku.

Dering pada ponselku, membuatku beranjak dan menghapus air mataku. Aku tersenyum miring, wanita ini.

"Tolong dengarkan ucapan papamu, kalau kamu tidak ingin papamu semakin membencimu!" ucap wanita itu dengan nada meremehkan.

"Aku tidak peduli dengan papa, apapun bentuk penilaiannya terhadapku, aku sama sekali tidak peduli," balasku tajam. Cihh... dua orang dewasa yang memuakkan.

"Bagaimana? jika, aku membuat papamu tidak lagi mengirimkan sepeser uang pun untuk memenuhi kebutuhan hidupmu," tantangnya jumawa.

Rasanya aku ingin tertawa keras.

"Silahkan, asal kamu tahu, sudah lama aku tidak lagi menggunakan uang papa untuk kebutuhan hidupku."

Bahkan aku rela menjadi kacung perusahaan, agar tidak lagi mengemis uang papa, sudah tidak ada lagi Fayni manja yang lemah hidup dari belas kasihan orang lain.

"Apapun yang kamu lakukan tidak akan berhasil, Revan sangat mencintai Carisa!"

"Ohh ya, kalau memang itu kenyataannya anda tidak perlu takut, Revan akan berpaling padaku," kataku sebelum menutup teleponnya.

Rasa kesal menguasahiku, mendengar dari mulut orang lain, betapa Revan sangat mencintai Carisa, membuat percikan api cemburu menguasahiku. Kalau begini, namanya senjata makan tuan. Dengan masih perasaan sebal, aku mengetik pesan ke Revan kalau dia tidak perlu lagi menjemput atau mengantarku bekerja. Seharusnya aku tidak boleh seperti ini, bukankah aku sudah menyakinkan diri, agar rencanaku berjalan mulus, aku harus bisa menahan perasaanku, nyatanya aku masih kalah dengan perasaanku.

Hanya beberapa detik, setelah aku mengirim pesan, panggilan Revan membuat ponselku kembali berdering. Sebelum menerima panggilan Revan, aku melirik jam dinding, ini sudah lebih dari tengah malam, kenapa lelaki ini belum tidur?

"Kenapa belum tidur?" itu kalimat pertama Revan yang diucapkan saat aku menerima panggilan. Aku tidak tahu harus menjawab apa?

"Kebangun," jawabku akhirnya.

"Mimpi buruk?" tanyanya masih dengan nada lembut, tidak seperti ketika bertemu terkesan acuh.

Iya. Bahkan ini lebih mengerikan dari sekedar mimpi buruk.

"Masih konsumsi obat antidepresan?" tanyanya blak-blakan.

"Udah lama, enggak," jawabku malas.

"Fay, apa kamu bersedia, jika aku kenalkan dengan temanku, dia ahli di bidang itu," ucapnya hati-hati.

Aku tersenyum miris. Benarkan, dia mendekatiku karena prihatin dengan keadaanku.Kenyataan ini benar-benar membuatku mual, padahal aku sudah tahu sejak awal. Apa yang kamu harapkan sih Fay? Dari orang yang mencampakkanmu dengan mudah, dan sekarang sudah menjadi milik orang lain.

"Boleh, Van." jawabku menahan air mata yang mulai mengalir.

"Baiklah Fay, besok pulang kerja aku jemput ya?"

"Iya."

"Sekarang tidur lagi ya?"

Aku segera menutup telepon. Rasanya benar-benar nelangsa.

Bring My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang