06. Rencana Pendekatan
"Pada dasarnya, jika memang itu ditakdirkan untuk kita, maka sejauh apapun kita menentang, pada akhirnya akan tetap menjadi milik kita. Begitu juga sebaliknya, sekuat apapun kita berjuang jika memang bukan di takdirkan untuk kita makan perjuangan itu akan sia-sia."-AngkasaDara.
***
Dara mendatangi kantor ayahnya karena pria itu mengatakan dia masih di sana. Saat sudah sampai di depan gedung perusahaan sang ayah, Dara bergegas masuk ke dalam sana. Setiap kali dia melewati karyawan, selalu dia sapa dengan ramah membuat orang-orang begitu menyukainya.
"Udah cantik, baik, ramah, gak sombong lagi,"
"Pak Arya beruntung banget punya anak kayak Dara,"
"Masih heran kenapa Bu Arsy gak suka sama Dara. Padahal kalau di liat-liat, anaknya gak banyak tingkah,"
"Berdo'a aja semoga Bu Arsy cepat berubah,"
Mendengar ada yang membicarakan tentang dia dan sang mama, Dara mempercepat jalannya agar sampai ke ruangan papanya.
"Papa!" Dara langsung memeluk pria yang sejak kemarin tak dia lihat keberadaannya dengan begitu erat.
"Lagi, hmm?" tanya Arya sembari mengusap punggung kecil putrinya.
Dara mengerti maksud pertanyaan pria itu, dia menggelengkan kepalanya pelan agar papanya tidak khawatir. "Enggak, kok,"
"Bohong lagi," kata Arya terkekeh pelan, tak lupa kecupan sayang dia berikan di kening sang putri tersayangnya itu.
Dara hanya tersenyum lalu merengek minta di gendong oleh pria itu yang tentu di kabulkan oleh sang papa.
"Anak Papa makin hari makin cantik," puji Arya sembari tak henti-hentinya menghujani ciuman sayang di puncak kepala anak gadisnya itu.
"Anak siapa dulu? Anak Papa Arya!" sahut Dara dengan bangga.
Gadis enam belas tahun itu lalu di turunkan di sofa, Arya lanjut menelepon asistennya untuk membawakan makan siang ke ruangannya karena dia yakin jika sang putri tercintanya itu belum makan siang.
"Kita makan di luar aja gimana, Pa?" saran Dara.
"Gak mau pesen aja?"
Dara menggelengkan kepalanya membuat Arya tak kuasa menolak permintaan anaknya itu, dia kembali menelepon sang asisten supaya makanan yang tadi ia pesan diberikan untuk asistennya itu saja.
"Ayo," Arya mengulurkan tangannya yang langsung di genggam erat oleh Dara.
Melihat bagaimana antusiasnya Dara, malah membuat Arya ingin menangis. Entahlah, semenjak kepergian Bella, rasa takut akan kehilangan itu menjadi trauma besar bagi Arya.
Arya tidak mau lagi gagal menjaga anaknya. Dia tidak ingin kejadian yang menimpa Bella kembali terulang kepada Dara. Sungguh, dia bahkan tak sanggup memikirkan bagaimana hidupnya jika dia kehilangan Dara.
Dara adalah separuh jiwanya. Bahkan putrinya itu bagaikan nafasnya. Baginya, Dara tetaplah putri kecilnya yang harus dia lindungi dari ancaman apapun, termasuk istrinya sendiri.
"Sayang?" panggil Arya pelan membuat Dara menatapnya. "Kalau Mama sama Papa pisah-"
Detik itu juga, senyum yang semula terpatri kini hilang dari wajah Dara.
***
"Kamu masih marah?" Arya terus berusaha mengajak Dara berbicara karena sejak tadi sang anak itu terus saja diam.
Mereka sudah berada di restoran langganan mereka, namun Dara tetap enggan berbicara. Menatap pria itu saja tidak.
"Papa minta maaf," ucap Arya. "Papa Cuma mikir kalau-"
"Enggak, Pa." sela Dara. "Dengan cara Papa pisah sama Mama, itu gak menjamin kebahagiaan aku. Aku udah cukup bahagia sekarang. Aku mohon Papa sama Mama jangan pisah, aku mau punya keluarga yang lengkap ...," tangis Dara pecah saat itu juga.
Melihat putrinya menangis, Arya menjadi merasa bersalah. Segera dia dekap anaknya itu untuk di tenangkan.
"Papa minta maaf," Arya terus mengulang kalimat yang sama pada sang anak. Tangannya mengusap air mata yang mengalir di pipi putrinya itu.
"Arya?" Sebuah tangan menepuk pelan pundak membuat Arya mendongak.
"Mario?"
***
Angkasa sibuk memainkan ponselnya, mengabaikan Dara yang berada di sampingnya. Dia ke sini bersama papanya, dan tanpa di duga ternyata pria itu bertemu dengan ayah Dara yang ternyata keduanya adalah rekan bisnis. Jadilah dia dan Dara di suruh untuk mengobrol bersama.
Bukannya mengobrol, kedua anak manusia itu cosplay jadi patung alias saling diam.
Karena Angkasa mengabaikannya, Dara ikut mengabaikan cowok itu juga. Keduanya fokus pada ponsel masing-masing.
"Angkasa? Dara?"
Panggilan itu membuat keduanya serempak menyahut. "Iya?"
Ternyata Mario yang memanggil. Pria itu sedaritadi terkekeh pelan melihat putranya yang kaku saat berada di dekat Dara.
"Kenapa Om?" tanya Dara saat melihat pria itu tersenyum simpul. Tak lupa dia menyimpan ponselnya agar menghargai pria itu.
Mario menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak, Om Cuma mau bilang kalau nanti malam Om sama Angkasa bakal mampir ke rumah kamu,"
"UHUK!" Angkasa tersedak minuman yang sedang dia seruput mendengar ucapan pria itu. "Ngapain?!" tanya Angkasa tak santai. Lebih tepatnya dia kaget.
"Papa ada urusan sama Om Arya," ujar Mario yang di balas anggukan kepala oleh Arya.
Keduanya mau anak-anak mereka dekat. Tidak, keduanya tidak mengharapkan jika anak-anak mereka menjalin hubungan. Hanya sekedar menjadi teman, tidak masalah, bukan? Tapi jika keduanya menjalin hubungan, itu bonus.
"Terus kenapa ngajak aku?" tanya Angkasa bingung. "Nanti malem aku sama temen-temen mau-"
"Papa udah bilang sama Iqbal kalau nanti malam kamu gak ikut," sahut Mario cepat.
----------------------------to be continued, baby KaRa❤
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASADARA [SUDAH TERBIT]
Fiksi Remaja[SEKUEL BISA DIBACA TERPISAH] [NEW VERSION] Kisahnya singkat, sesingkat pertemuan mereka. Kisahnya juga telah usai, sebelum waktunya. Sesungguhnya, kebahagiaan hanyalah pemanis dalam cerita ini karena sebenarnya kesedihan lah yang menjadi dasar a...