Mereka tengah duduk di balkon dengan beralaskan karpet bulu tebal yang sengaja digelar, kaki mereka lurus dan Nazla bersandar di dekapan Fikri seperti biasa.
"Mas, Maaf" ucap Nazla
Fikri tersenyum hangat, Dia sama sekali tidak marah ataupun kecewa tapi Nazla tak henti meminta maaf atas hal yang sama sekali di luar kehendaknya
Fikri menjatuhkan Nazla dengan perlahan di ranjangnya, wajah Nazla nan ayu dan teduh terlihat semakin mempesona di bawah temaram lampu kamar, dengan perlahan jemari fikri menyusuri bentuk wajah Nazla sembari menyingkirkan surai surai rambut Nazla yang mencuat disekitar kening.
Cantik
Tak ada satu haripun Fikri menyangkal itu bahkan sejak Fikri pertama kali melihatnya, dengan jarak yang begitu dekat Fikri kembali memperhatikan wajah Nazla tatapan Nazla yang sayu dan pipinya yang merekah semakin menyulut gairah Fikri hingga tatapan itu kini berubah menjadi kecupan kecil mulai dari dahi, pipi dan diakhiri dengan lumatan panjang di bibir mereka. Dengan setitik kesadaran yang Dia punya Fikri membacakan doa yang telah dia hafal diluar kepala lalu memulai kembali aktifitas mereka.
Disela ciuman mereka, Nazla merasakan ada sesuatu yang keluar dari intinya rasanya begitu familiar dan tak nyaman, dengan sedikit kesadaran yang masih tersisa Nazla mendorong dada Fikri untuk menjauh dan melepaskan ciuman mereka.
Fikri sudah ingin melayangkan protes namun melihat Nazla yang terlihat memelas Fikri langsung paham dan meloloskan Nazla dari kukungan tubuhnya. Dengan tergesa-gesa Nazla langsung berlari kearah kamar mandi Nazla bahkan tidak memperdulikan tubuhnya hanya berbalut hotpant karena sarungnya telah pergi entah kemana dan kemeja yang hanya menyisakan Dua kancing bawahnya saja.
"La, kenapa lama sekali. Kamu nggak papa kan?"
Sesaat setelahnya Nazla keluar dengan wajah menunduk sembari memilin ujung bajunya yang sudah tampak kusut.
"Ada apa?"
"A-aku Haid Mas"
"Ha?"
Telinga Fikri seolah tuli seketika, sebagian dirinya ingin berteriak saja padahal sebentar lagi ah sudahlah fikirnya. Melihat Nazla yang tampak bersedih membuat Fikri turut iba, itu juga bukan kesalahannya kan? Ya Allah... Begini sekali cobaan hamba batinya kembali berperang.
Fikri menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal "Em, mungkin belum rezeki Mas" kata Fikri sekuat hati yang tentu sangat kontras dengan apa yang diinginkan nya.
"Maaf"
"Gapapa, belum ngantuk kan? Ayo kita liat bintang dari balkon"
Fikri mencoba menarik tangan Nazla namun Nazla tetap diam di tempat. Memutar kepalanya Fikri menatap Nazla dengan tatapan bingung.
"Kenapa?"
"Aku nggak bawa pembalut Mas, padahal ini udah deres banget"
Ha?
Pembalut?
Deres?
Tenggelamkan saja Aku Nazla batin Fikri kembali berteriak.
"Mas?"
"Eh Iya. Yasudah Mas belikan dulu di minimarket dekat sini"
"Iya Mas"
Dengan langkah gontai Fikri mengambil kunci mobil dan berlalu pergi meninggalkan Nazla.
Akhirnya setelah berkutat dengan ukuran pembalut, bersayap atau tidak siang atau malam, Fikri dengan instingnya memilih membeli Empat macam pembalut dengan isi 30 pcs Fikri tak tau pasti berapa ukurannya Dia hanya memilih Dua pembalut malam dan siang yang bersayap. Huffft... Emang burung apa bersayap?. Dia tau persis bagaimana perhitungan haid, lama suci, cara bersuci bahkan perhitungan yang benar untuk menghitung berapa banyak sholat yang harus diqodho saat haid maupun istihadhoh. Semuanya dulu terlihat mudah meski hanya paham teorinya saja setidaknya untuk seorang laki-laki mendinglah. Dan kini Dia paham mengapa Wanita adalah makhluk yang spesial dan rumit,yah... Masalah pembalut saja begini rumit apalagi yang lain?. Fikri menggeleng geli dengan apa yang baru saja difikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang Selesai✓
Genç Kız Edebiyatı"Sejak awal Saya memang sudah salah Mas, Saya salah mengartikan sederet kalimat yang Sampeyan kirimkan. Padahal Sampeyan hanya bercanda ya?" Dia bingung harus menjawab bagaimana. Tangis gadis didepanya seolah ikut menikam ulu hatinya hingga sesak. ...