If Only

1.2K 189 3
                                    

Seorang pria duduk sendiri di sebuah kafe memandangi rintik hujan dengan wajah sendu. Tangannya sesekali sibuk mengaduk-aduk kopi yang masih mengepul di hadapannya, menandakan kalau ia sedang gelisah.

Entah sudah berapa lama ia duduk di sana dan entah sudah berapa kali ia menoleh setiap kali bel pintu kafe berbunyi, berharap yang datang adalah seseorang yang ia rindukan.

"Maafkan aku, Oppa. Apa aku terlambat?" Seorang gadis berambut hitam tiba-tiba sudah berdiri di samping mejanya, mengejutkannya sekaligus membuatnya lega.

"Ti-tidak, kau tidak terlambat. Aku yang datang terlalu cepat. Mau minum apa?"

"Tidak usah, Oppa. Aku tidak bisa berlama-lama. Maafkan aku." Lalisa, si gadis, menundukkan wajah sedihnya. Jemarinya sibuk memainkan kuku-kukunya, memperlihatkan betapa gugup dirinya.

"Ada apa, Lis?" Kegugupan Lalisa ikut menular pada dirinya. Tiba-tiba ketakutannya yang sedari tadi dirasakannya kembali datang.

"Maafkan aku, Wonwoo Oppa. Hari ini akan menjadi hari terakhir kita bertemu. Suamiku, kakak sepupumu mulai mencurigai hubungan kita, Oppa. Aku tidak ingin hubungan kalian sebagai keluarga rusak karenaku. Maafkan aku. Lagipula aku sekarang sedang hamil, Oppa. Aku tidak ingin anakku membenciku dan pamannya sendiri," lirih Lalisa yang langsung bangkit karena tidak lagi mampu menahan air matanya.

Jeon Wonwoo terkejut melihat gerakan tiba-tiba Lalisa yang berlari keluar. Ketika ia sadar, Lalisa sudah membuka pintu kafe dan berlari keluar, berbaur dengan ramainya pejalan kaki.

Helaan napas panjang keluar begitu saja. Rasanya kejadian ketika Lalisa memilih untuk tetap mempertahankan pernikahannya sebulan yang lalu masih tergambar jelas dalam benaknya. Sejak itu, Wonwoo selalu kembali ke kafe yang sama dan duduk di meja yang sama serta memesan minuman yang sama di jam yang sama pula.

Pria berwajah dingin itu kembali mengingat saat-saat pertama ia bertemu dengan Lalisa. Seorang gadis yang ia kira halusinasi. Hari itu, lima tahun lalu, ia pulang larut malam karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Tetapi walaupun tubuh terasa lelah, ia memilih untuk tidak langsung pulang.

Mobil yang ia kendarai, memutar menyusuri pantai yang tetap indah walau hari sudah gelap. Terkadang ia sangat bersyukur karena mendapatkan pekerjaan di cabang Jeju. Setidaknya ketika rasa penat pada pekerjaannya menyerang, ia bisa menenangkan diri dengan memandangi deburan ombak.

Hanya saja malam itu, ia tidak menikmatinya sendirian seperti yang sudah-sudah. Karena di tempatnya biasa berdiri untuk mengagumi indahnya laut, berdirilah seorang gadis tanpa ekspresi. Awalnya ia kira ia terlalu lelah hingga berhalusinasi karena si gadis hanya diam bergeming.

Jadi betapa terkejutnya, Wonwoo ketika gadis itu menyapanya ditambah dengan senyuman lebarnya yang membuatnya untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya merasakan debaran tak biasa pada jantungnya.

"Apa kau baru pindah?" tanya Wonwoo setelah mereka sudah selesai bertukar sapa.

"Tidak bisa dibilang pindah juga. Aku hanya liburan disini. Menenangkan hati sebelum melangkah ke jenjang kehidupan yang berbeda."

Sejak hari itu, Wonwoo selalu menemani Lalisa menghabiskan waktu liburannya di pulau Jeju setiap kali ia ada waktu, tanpa menyadari kalau bukan hanya pertemanan diantara mereka yang tumbuh subur.

Di hari terakhir mereka bersama, sebelum Lalisa pulang ke kota asalnya di Seoul -- entah siapa duluan yang memulai -- keduanya berbagi ciuman lembut. Ciuman pertama mereka sebagai ... pasangan mungkin, Wonwoo sendiri tidak tahu apa sebenarnya hubungan mereka. Satu hal yang ia tahu, menghabiskan waktu dengan seorang Lalisa sangat menyenangkan dan selalu berhasil membuatnya nyaman.

InterludeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang