Four Seasons Series - Summer

918 153 5
                                    

Just like a hot summer, you burn my heart black ....



Mark Tuan terkejut mendengar pernyataan ayahnya saat mereka sedang makan malam di rumah mereka. Ia hampir gagal menyembunyikan emosinya jika ia tidak benar-benar terlatih.

"Maksud ayah, Park Lisa? Putri satu-satunya keluarga Park yang bahkan baru setahun belakangan wajahnya diketahui?"

Ayahnya mengangguk. Menyuap makan malamnya dengan tenang. Setelah menelannya lalu minum, ayahnya menaruh alat makannya. Lelaki berumur itu lantas menaruh dagunya di atas tangannya yang bertaut menatap putranya dengan tatapan yang mampu menembus relung jiwa siapapun yang ia tatap.

"Kau tidak suka!"

Mark terkejut. Kali ini ia tidak bisa cepat menutupinya karena suara dingin ayahnya yang seakan menghakiminya. Sedikit gugup, Mark menggeleng. Mencoba sebisanya untuk mengembalikan ketenangannya.

Sebuah tawaran menarik baginya. Sebagai seorang anak yang selalu dituntut sempurna dan selalu merasa di bawah bayang-bayang ayahnya, Mark merasa jika ia menerima tawaran ini maka ia bisa terbebas dari ayahnya. Ia bisa membuat dirinya dikenal sebagai Mark Tuan bukan anak dari Mr. Tuan.

"Jadi apa jawabanmu?" tuntut ayahnya yang sejak tadi memperhatikan segala gerak-gerik Mark.

"Tentu aku menerimanya."

Mark begitu percaya diri mengatakan jawabannya. Lagipula siapa yang butuh cinta. Buktinya ayah dan ibunya yang katanya menikah karena cinta pun berpisah sejak Mark masih kecil. Tidak, bukan berpisah. Namun sang ibu meninggalkannya sendirian di rumah megah bersama ayahnya yang begitu sibuk dan dingin.

Salah satu hal yang membuat Mark tidak lagi percaya akan cinta dan tidak mengerti apa itu cinta.

¤¤¤

Waktu begitu cepat berlalu. Tiba-tiba saja, pesta pertunangan keduanya telah terjadi. Dan Mark memiliki tanggung jawab lain selain berusaha mematenkan jati dirinya di perusahaan ayahnya, yakni menemani tuan putri Park.

Seperti hari-hari sebelumnya, Mark dengan setia duduk di dalam mobilnya. Menunggu Lisa keluar dari gedung kampusnya. Sebagai mahasiswi tingkat akhir yang hanya tinggal skripsi, Lisa memiliki lebih banyak waktu luang. Kegiatannya belakangan hanya merevisi skripsinya jika ada kesalahan atau bertemu muka dengan dosen pembimbingnya.

"Kakak sudah menunggu lama?" sebuah ketukan pada kaca jendelanya kemudian diiringi suara menggemaskan Lisa menyadarkan Mark dari lamunannya. Lelaki itu dengan cepat membuka pintu mobilnya sehingga membuat Lisa sedikit mundur. Memberikan jalan pada Mark yang memilih keluar.

"Kau sudah dari tadi? Maaf aku sedikit melamun."

Lisa tersenyum hangat dan menggeleng. "Tidak. Aku baru saja tiba. Kakak kenapa? Kau terlihat lelah. Apa sedang banyak kerjaan?" tanya Lisa dengan ekspresi khawatir. Sedangkan tangannya menjulur mencoba menyentuh kening Mark untuk mengecek suhu tubuh tunangannya.

Mark terkejut. Selama ini, ia hanya memendam segalanya sendiri. Bagi ayahnya, seorang lelaki yang mengungkap keadaannya atau perasaannya adalah lelaki lemah yang tidak lebih dari lelaki dengan mental karyawan. Jika ia ingin menjadi penerus keluarga Tuan maka ia tidak boleh menunjukkan perasaannya dalam keadaan apapun.

Terbiasa dengan itu, Mark reflek melepaskan tangan Lisa yang membuat si perempuan cemberut. Sungguh menggemaskan. Mark hampir tidak mampu mengendalikan dirinya untuk mencium bibir Lisa.

"Ah maafkan aku," ucap Mark cepat. "Aku hanya reflek karena tidak ada orang yang pernah menyentuh keningku secara tiba-tiba. Maafkan aku, okay?"

InterludeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang