First Half of 40 Days

1.1K 191 31
                                    

"Selamat malam, Jung Jaewon ssi. Perkenalkan, aku Lalisa. Pemandumu hingga empat puluh hari kedepan," ujar seorang gadis berambut pendek dengan ceria sambil mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi. Sedangkan, si lelaki yang bernama Jung Jaewon hanya menatap malas ke arahnya.

"Apa kau harus berteriak?" kesalnya.

"Ayolah! Kenapa kau kaku begitu sih? Kita harus menyikapi semuanya dengan positif."

Jaewon mendengus malas. "Sekarang sudah malam, Lalisa ssi. Apa kau tidak takut ditimpuk orang karena mengganggu tidur mereka?" Apa yang dikatakan Jaewon memang tidak salah. Kenyataan memang hari sudah larut dan mereka berdua sedang berada di jalanan salah satu perumahan padat penduduk. Tepatnya berada di bawah lampu jalan berwarna kuning pucat.

"Hei ... mereka pasti mengerti kok. Jadi, kemana kau akan pergi untuk awal perjalananmu?" senyum Lalisa, berusaha mencairkan suasana yang terasa suram.

"Kau kan pemandunya. Kenapa bertanya padaku?" ketus Jaewon, melipat tangannya di depan dadanya sambil menatap tajam pada gadis yang sejak awal terus tersenyum senang.

"Baiklah. Kalau kau tidak tahu akan kemana. Maka pemberhentian pertama adalah rumah ibumu," katanya sedikit kencang.

Jaewon terbelalak mendengarnya dan secepat itu juga ia menyatakan keberatannya. "Tidak! Kemanapun asal jangan ke rumah wanita itu."

Lalisa menggeleng tidak setuju. Gadis berbaju terusan sepekat malam itu berjalan mendekat. "Tidak boleh begitu, Jaewon ssi. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kadi tidak boleh asal menghakimi orang lain. Lagipula, keputusanku tidak bisa diubah karena sudah kuucapkan. Jadi kau tidak bisa membantahnya."

Setelahnya, Lalisa menggandeng erat tangan Jaewon lalu menariknya pergi dan menghilang dalam kegelapan malam.

¤¤¤

"Lihat kan? Bahkan dengan melihatnya, harusnya kau tahu kalau ibuku tidak peduli denganku," gerutu Jaewon yang menyenderkan punggungnya tepat di tembok sebelah gerbang rumah besar ibunya.

Lalisa manggut-manggut sambil tersenyum manis. "Tidak ada ibu yang tidak peduli dengan anaknya. Kau tahu? Seorang ibu adalah aktris paling hebat di dunia. Di depan orang lain, ia akan terlihat kuat. Tapi tidak akan ada yang tahu apa yang ia lakukan saat sendirian."

Jaewon mendecih malas. Namun tidak bisa melakukan apapun. Bagaimanapun ia tidak bisa pergi sendiri tanpa panduan gadis menyebalkan yang berdiri sambil melihat-lihat rumah ibunya.

"Apa baju kusammu itu seragam?"

Lalisa menunduk, memandang Jaewon yang kini sudah berjongkok. "Tidak sepenuhnya seragam. hanya saja warna hitam adalah warna yang paling tidak mencolok. Jadi yah, kami akhirnya memilih menggunakan warna hitam."

"Kami? Apa kalian ada banyak?"

"Tentu saja. Begitu banyak manusia yang harus dipandu, tahu. Dan jarang sekali ada manusia yang sudah puas hanya dengan tour sehari. Jadi, tentu saja kami harus berjumlah banyak."

"Kalau begi --."

Lalisa menutup mulut Jaewon yang sedang bicara, menyuruhnya diam dan menunjuk ke arah balkon. Di sana, ibunya Jaewon sedang duduk di kursi balkon memandangi langit. Sesekali ibunya mengusap airmata yang jatuh dari matanya yang terlihat lelah.

Jaewon tertegun melihat pemandangan di depannya. Meskipun ibunya tidak bersuara, entah bagaimana ia tahu kalau ibunya berkali-kali melirihkan namanya sambil meminta maaf.

"Pergilah. Temui ibumu. Aku memberimu waktu untukmu menghabiskan waktu dengan ibumu sampai aku kembali menjemputmu." Sesaat setelah Lalisa menyelesaikan ucapannya, Jaewon sudah berdiri di sebelah ibunya yang semakin terisak sambil memegang foto dirinya saat ia masih duduk di sekolah dasar.

InterludeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang